Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Norbertus Riantiarno atau yang biasa dipanggil Nano Riantiarno menghembuskan napas terakhirnya pada Jumat pagi, 20 Januari 2023. Berita duka ini pun disebarkan secara langsung oleh pihak keluarga melalui media sosial dan juga pesan singkat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Telah berpulang ke rumah Bapa di Surga, suami, ayah, kakak, guru kami tercinta, Norbertus Riantiarno di rumah beliau, pada pagi hari, Jumat, 20 Januari 2023, pukul 06.58 WIB," tulis pesan singkat dari pihak keluarga yang diterima Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nano Riantiarno meninggal pada usia 73 tahun dan meninggalkan orang-orang yang menyayanginya, antara lain sang istri, Ratna Riantiarno, Rangga Riantiarno, Almitra Pranawingtyas, Kifa Kirana Altayra, Rasapta Chandrika, Ayumi Astriani, Gagah Tridarma Prastya, dan Keluarga Besar Teater Koma. Pihak keluarga memohon kepada setiap orang, baik teman dekat Nano maupun tidak untuk memaafkan segala kesalahan yang pernah dilakukan oleh Nano Riantiarno agar ia dapat pergi dengan damai.
Sebelum dikebumikan, jenazah Nano akan disemayamkan di Sanggar Teater Koma, Jalan Cempaka Raya Nomor 15, Bintaro, Jakarta Selatan. Setelah itu, esoknya, Sabtu, 21 Januari 2023, sebelum pukul 12.00 WIB siang, jenazahnya akan dikebumikan di Taman Makam Giri Tama, Tonjong, Bogor.
Sampai sekarang, belum diketahui secara pasti kronologi dan penyebab meninggalnya Nano Riantiarno. Tempo pun masih berusaha menghubungi anaknya, Rangga Bhuana untuk dimintai keterangan perihal ini.
Namun, pernah diberitakan bahwa Nano Riantiarno sempat menjalani perawatan di RS Fatmawati, Jakarta Selatan, sejak Senin, 7 November 2022. Ia juga melakukan operasi pengangkatan tumor di bagian paha kirinya pada Selasa, 8 November 2022.
"Ada tumor cukup besar di paha kiri, sudah 4 tahun bengkak, tetapi Papa baru bilang setelah setahun belakangan karena sudah mulai terasa sakit,” ucap Rangga, putra Nano.
Profil Nano Riantiarno
Merangkum dari catatan Tempo, Nano Riantiarno merupakan seorang penulis, wartawan, aktor, sutradara, dan tokoh teater ternama kebanggan Indonesia. Nano lahir pada 6 Juni 1949 di Cirebon, Jawa Barat. Ia sangat cinta akan dunia teater yang ditekuninya sejak masih sekolah di kota kelahirannya pada 1965. Dua tahun kemudian, ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Akademi Teater Nasional Indonesia, ATNI, Jakarta. Lalu, pada 1971, ia masuk ke Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
Pada 1968, Nano bersama dengan Teguh Karya mendirikan Teater Populer. Kemudian, pada 1 Maret 1977, barulah, Nano mendirikan Teater Koma yang sampai sekarang menjadi salah satu kelompok teater paling produktif di Indonesia. Namun, selain teater, ia juga ahli bekerja di balik layar dunia perfilman. Buktinya, ia pernah memenangkan penghargaan Piala Citra Festival Film Indonesia 1987 berkat skenarionya dalam Jakarta Jakarta. Selain itu, hasil arahan sinetronnya dengan judul Karina juga meraih Piala Vidia pada 1987 dalam Festival Film Indonesia.
Selain dalam dunia teater dan film, Nano juga suka menulis. Beberapa tulisan karyanya, antara lain Cermin Merah (2004), Cermin Bening (2005), Cermin Cinta (2006), dan Ranjang Bayi (2008). Sebelumnya, ia juga pernah berkontribusi mendirikan beberapa majalah, yaitu majalah Zaman dan majalah Matra. Pada dunia kepenulisan, ia pun meraih beberapa penghargaan, antara lain lima hadiah sayembara Penulisan Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta pada 1972, 1973, 1974 dan 1975, serta 1998.
Penghargaan lain yang pernah diterima Nano Riantiarno, di antaranya Penulis Skenario Terpuji 1999 (Kupu-Kupu Ungu), Piagam Penghargaan dari Menteri Pariwisata Seni dan Budaya, sebagai Seniman dan Budayawan Berprestasi, serta karya pentasnya berjudul Sampek Engtay (2004) masuk MURI atau Museum Rekor Indonesia sebagai karya pentas yang telah digelar selama 80 kali selama 16 tahun dan dengan 8 pemain serta 4 pemusik sama.
RACHEL FARAHDIBA R
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.