Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Memang belum ada kepastian angka tahun tentang kapan Candi Liyangan di Dusun Liyangan, Desa Purbasari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah didirikan. Begitu pula masa peradaban yang dihuni masyarakat di sana waktu itu, tempat yang kini dikenal dengan nama Situs Liyangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun berdasarkan penelitian bertahap yang telah dilakukan Tim Penelitian Situs Liyangan Balai Arkeologi DI Yogyakarta sejak 2010 hingga November 2018, situs dan peradaban manusianya diperkirakan telah ada sejak abad 2 Masehi dan berakhir pada 11 Masehi. “Peradaban di sana sangat panjang. Situs Liyangan bisa untuk belajar dan penelitian soal peradaban kuno masa 2-11 Masehi,” kata Kepala Balai Arkeologi DI Yogyakarta Sugeng Riyanto kepada Tempo di kantornya, Jumat, 2 November 2018 siang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sugeng pun memaparkan kronologinya secara terbalik, yaitu diitung mundur berdasarkan sejumlah temuan pada masa terakhir hingga masa awal situs itu berada. Dari abad 11 Masehi di mana peradaban di Liyangan berhenti akibat material letusan Gunung Sindoro menutup area tersebut. “Jadi peradabannya ‘dipaksa’ berhenti oleh Sindoro,” kata Sugeng.
Kemudian mundur ke abad 9 Masehi berdasarkan temuan sejumlah pecahan keramik, termasuk pecahan berukuran cukup besar dari guci. Temuan itu berada di pelataran yang berjarak sekitar 10 meter dari lokasi penemuan sisa bangungan kayu dan lokasi ekskavasi talud.
Bangunan talud dari batu boulder (batu kali) yang berkuran 15 meter x 1,5 meter itu didirikan untuk pembatas bangunan kayu yang ada di dalam pelataran. “Guci itu dari Dinasti Tang, dari Cina yang menandakan abad IX Masehi. Itu masa jayanya Mataram Kuno,” kata Sugeng. Masa itu ditandai dengan kepercayaan Hindu Budha.
Perkiraan masa juga bisa dilihat dari fase kepercayaan yang dianut masyarakat di sana yang mempengaruhi bangunan pemujaan (candi). Ada tiga fase yang terlihat di candi tersebut.Stus liyangaWarga melintas di situs purba di Liyangan, Ngadirejo, Temanggung, Jawa Tengah, 25 November 2014. TEMPO/Suryo Wibowo.
Fase pertama adalah fase pra-Hindu, di mana masyarakat masih menyembah roh nenek moyang. Fase itu ditandai dengan temuan bangunan megalitik berupa formasi area pemujaan (candi) yang berundak teras atau punden berundak. Masa itu, yakni abad 2-5 Masehi, belum terpengaruh peradaban Hindu.
Teras utama adalah tempat pemujaan yang paling suci. Pada teras itu terdapat candi utama, empat batur (kaki candi) kecil dan satu batur besar. Teras dan batu-batunya polos dari boulder, sederhana, tanpa ukiran, tidak ada bangunan bilik dari batu. “Fase ini, badan dan atap bangunan pemujaan dari kayu. Baturnya yang dari batu,” kata Sugeng.
Fase kedua berada di tempat pemujaan teras ketiga. Bangunan badan candi terbuat dari batu, tetapi beratap material organik. Batu-batu boulder yang menyusun candi juga masih polos. Fase kedua diperkirakan memasuki masa transisi abad 6-7 Masehi.
Fase ketiga adalah masa kejayaan peradaban Mataram Kuno abad 9 Masehi. Pada fase ini, tempat pemujaan berada di teras keempat yang merupakan lokasi candi petirtaan untuk pemandian. Bebatuan yang menyusun badan candi sudah berupa blok-blok batu dan dilengkapi relief.
PITO AGUSTIN RUDIANA (Yogyakarta)