Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada meminta agar kasus bekas ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad dan Bambang Widjojanyo diterbitkan surat ketetapan penghentian dan penuntutan perkara (SKP2).
“Jika Abraham Samad disidang atas tuduhan memasukkan orang dalam kartu keluarganya, maka banyak orang di Indonesia akan masuk penjara,” ujar Direktur Pukat Zaenal Arifin Mochtar, Jumat, 12 Februari 2016.
Bahkan, menurut Zaenal, tidak sedikit pejabat yang memasukkan orang yang bukan keluarganya ke dalam kartu keluarga. “Mahfud MD (mantan ketua Mahkamah Konstitusi) saja mengakui melakukan itu," kata Zaenal.
Budi Gunawan yang gagal menjadi Kapolri gara-gara dijadikan tersangka oleh KPK saat kepemimpinan Abraham Samad pun, punya empat kartu tanda penduduk. “Kenapa tidak ditangkap,” ujarnya.
Sedang Bambang Widjojanto diperkarakan karena mengarahkan saksi saat sengketa pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi. Ada 63 saksi di sidang Mahkamah Konstitusi, mustahil mereka bersaksi semua karena sidang hanya dua hari. Yang dilakukan adalah memilah saksi. Ada yang relevan dan ada yang tidak. Itu yang disebut merekayasa saksi. "Kalau itu disebut merekayasa saksi, maka saya bilang, seluruh pengacara di Republik ini harus masuk penjara," kata dia.
Ia mencontohkan soal kasus Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, petinggi KPK era Antasari Azhar. Bukti untuk menjerat mereka hanya sobekan kertas parkir hotel Bellagio. Ada mobil milik KPK di saat yang sama ada orang yang berperkara di hotel itu. "Disimpulkanlah karena ada mobil KPK di situ, dengan sobekan kertas parkir sudah bisa disimpulkan Bibit dan Chandra bertemu (orang berperkara), kan tidak logis," kata Zaenal.
Jika hal-hal demikian dibiarkan masuk persidangan, maka kata dia, pengadilan menjadi tong sampah. “Semua mengamini kebobrokan itu,” ujarnya.
Jika kasus Abaham Samad dan Bambang Widjojanto akhirnya masuk pengadilan, kata Hifdzil Alim, peneliti Pukat, pasti akan banyak demonstrasi menentang. "Tidak akan gaduh secara politik. Tetapi secara publik akan santer gelombang penolakan," kata Hifdzil.
MUH SYAIFULLAH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini