Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dede Riswanto mengaku memberikan keterangan palsu saat menjadi saksi pembunuhan Vina dan Eky delapan tahun lalu.
Pernyataan terbaru Dede itu dinilai semakin meruntuhkan konstruksi kasus yang dibuat polisi.
Peluang delapan terpidana untuk kembali menghirup udara bebas pun semakin terbuka lebar.
GELAR perkara kasus pemberian keterangan palsu dengan terlapor Dede Riswanto dan Aep, saksi kasus pembunuhan Vina dan Eky, berlangsung selama tiga jam di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri pada Selasa siang, 23 Juli 2024. Tim kuasa hukum keluarga para terpidana selaku pelapor dan tim kuasa hukum Dede sebagai terlapor mengajukan bukti baru kepada polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukti baru itu adalah surat pernyataan yang dibuat Dede di kediaman politikus Partai Gerindra, Dedi Mulyadi, beberapa waktu lalu. Anggota tim kuasa hukum Dede, Suhendra Asido Huabarat, mengatakan surat tersebut dibuat di hadapan notaris itu. Dede, kata Suhendra, mengakui memberikan kesaksian palsu saat diperiksa penyidik Kepolisian Resor Cirebon pada 2016.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suhendra menyatakan Dede awalnya hanya diajak oleh Aep untuk datang ke Polres Cirebon. Di sana, kata dia, Dede bertemu dengan Iptu Rudiana, ayah Eky, yang memaksanya untuk menjadi saksi. Bahkan, menurut Dede dalam suratnya, Rudiana mengarahkan dengan memberikan detail kronologi kejadian pada 27 Agustus 2016 tersebut. “Jadi, memang benar, peristiwa yang disampaikan dalam berita acara itu tidak pernah terjadi,” ujar Suhendra seusai gelar perkara, kemarin.
Dede, kata Suhendra, mengaku bingung karena tidak tahu apa-apa soal peristiwa itu. Bahkan Suhendra menyatakan kliennya mengaku tidak mengenali nama dan wajah para terpidana. “Dia bilang saat kejadian itu enggak ada yang kumpul-kumpul. Enggak ada peristiwa pelemparan, terus kemudian mengejar sepeda motornya Vina dan Eky. Itu enggak ada,” kata Suhendra.
Saksi kunci kasus Vina "Cirebon", Dede Riswanto, mendatangi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), di Jakarta, 23 Juli 2024. TEMPO/Defara
Pengakuan baru Dede ini berkebalikan dengan apa yang dia sampaikan saat menjadi saksi di Pengadilan Negeri Cirebon. Bersama Aep, Dede mengaku melihat Vina dan Eky dilempari batu oleh sekelompok orang yang nongkrong di SMPN 11. Mereka pun mengaku melihat para pelaku mengejar Vina dan Eky dengan menggunakan empat sepeda motor sambil membawa bambu.
Aep dan Dede kala itu juga mengaku mengenali lima dari delapan terdakwa, yaitu Eka Sandi, Supriyanto, Jaya, Hadi Saputra, dan Eko Ramadhani. "Lima anak itu yang mengendarai sepeda motor dan mengejar korban," kata keduanya berdasarkan bunyi kesaksiannya yang tertulis dalam putusan PN Cirebon.
Tiga terdakwa lainnya adalah Rivaldi Aditya Wardana, Sudirman dan Saka Tatal. Dari delapan terdakwa itu, tujuh diantaranya mendapatkan vonis hukuman penjara seumur hidup. Hanya Saka Tatal yang mendapat vonis hukuman penjara delapan tahun penjara karena saat itu masih berusia di bawah umur.
Meskipun Dede telah mengakui memberikan keterangan palsu, polisi tak langsung menaikkan status kasus ini ke tahap penyidikan. Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri, Brigjen Djuhandani Rahardjo, menyatakan gelar perkara ini merupakan awal dimulainya penyelidikan.
Djuhandani menjelaskan, saat ini pihaknya telah menerima dua laporan. Selain terhadap Dede dan Aep, ada laporan terhadap Rudiana. Dia menyatakan penyelidik dan penyidik masih akan menelaah lebih lanjut untuk kemudian memutuskan apakah kasus ini akan dinaikkan ke tahap penyidikan atau tidak. “Kalau terjadi tindak pidana, akan dinaikkan ke tahap penyidikan,” tutur Djuhandani seusai gelar perkara.
Dede bukanlah satu-satunya saksi yang mengubah keterangannya setelah kasus pembunuhan Vina dan Eky ini kembali dibuka. Sebelumnya, saksi Liga Akbar Cahyana sempat mencabut keterangannya dalam berita acara pemeriksaan (BAP) delapan tahun silam. Dalam sebuah acara televisi bulan lalu, Liga Akbar menyatakan dirinya sebenarnya tidak bersama Eky dan Vina pada hari kejadian, 27 Agustus 2016, tak seperti kesaksiannya di pengadilan.
Flyover Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, lokasi Eky dan Vina ditemukan tewas pada 27 Agustus 2016. TEMPO/Advist Khoirunikmah
Berbaliknya kesaksian para saksi itu pun ditanggapi serius oleh Rudiana. Kuasa hukum Rudiana, Pitra Romadoni Nasution, melayangkan somasi terbuka terhadap Dedi Mulyadi, Dede Riswanto, dan Liga Akbar. Pitra menilai kesaksian Dede dan Liga Akbar merugikan kliennya. Dia pun meminta ketiga orang tersebut melakukan permintaan maaf dalam waktu 3 x 24 jam. Jika tidak, Rudiana mengancam akan menempuh jalur hukum. “Kami beri kesempatan sejak somasi terbuka ini dilayangkan,” kata Pitra saat konferensi pers di kantornya di Jakarta Pusat, Senin, 22 Juli 2024.
Laporan kesaksian palsu ini diajukan oleh keluarga para terpidana kasus pembunuhan Vina dan Eky pada 10 Juli 2024. Mereka menilai kesaksian Dede dan Aep dalam persidangan yang menjadi dasar pertimbangan hakim memberikan hukuman penjara seumur hidup. Roely Panggabean, anggota tim kuasa hukum tujuh terpidana itu, menyatakan laporan ini bertujuan untuk mencari bukti baru alias novum dalam pengajuan peninjauan kembali (PK) yang akan mereka lakukan.
Meski demikian, Roely belum bisa memastikan kapan mereka akan mengajukan PK itu ke Mahkamah Agung. Dia hanya berharap kasus kesaksian palsu ini bisa selesai secepatnya agar mereka bisa segera mengajukan PK dan para terpidana bebas dari penjara. “Saya juga minta doa kepada semua supaya masalah ini bisa dilancarkan dan mudah-mudahan keinginan atau harapan para terpidana ini bisa tercapai,” kata Roely seusai gelar perkara, kemarin.
Ahli hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, menilai pengakuan baru Dede ini bisa menjadi novum yang kuat oleh tujuh terpidana kasus pembunuhan Vina dan Eky. Selain karena kebaruannya, menurut dia, pernyataan Dede ini memenuhi syarat karena berpengaruh signifikan terhadap putusan sebelumnya. “Jadi, harus ada dua unsur setidaknya (untuk menjadi novum): keadaan baru dan diduga kuat mempengaruhi putusan sebelumnya,” ucapnya.
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel sependapat dengan Suparji. Hanya, menurut dia, keterangan baru Dede ini seharusnya diperkuat dengan bukti lain untuk meruntuhkan konstruksi perkara yang dibuat polisi. Reza mencontohkan soal bukti komunikasi para terpidana dan kedua korban bisa menjadi alat bukti tidak langsung atau circumstantial evidence dalam perkara ini. “Terutama circumstantial evidence karena keterangan adalah barang yang paling potensial merusak pengungkapan fakta,” ucapnya.
Reza pun menyatakan tak terkejut dengan perubahan keterangan Dede. Reza menilai konstruksi kasus pembunuhan Vina dan Eky yang dibuat oleh polisi sudah rapuh sejak awal. Pasalnya, polisi hanya bersandarkan pada keterangan saksi. Padahal, menurut dia, keterangan yang mengandalkan daya ingat manusia sangat rentan terfragmentasi dan terdistorsi. “Tambahan lagi bukti saintifik, sebagai bentuk circumstantial evidence-nya, nyaris tidak ada. Semakin rapuhlah simpulan polisi,” ujar Reza saat dihubungi secara terpisah.
Reza pun menilai pengakuan Dede ini membuat peluang para terpidana mendapatkan eksonerasi atau koreksi terhadap status hukumnya terbuka lebar. “Peluang eksonerasi bagi para terpidana akan semakin tinggi,” kata dia.
Dosen Departemen Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Muhammad Fatahillah Akbar, juga sependapat. Dia menilai keterangan Dede ini tetap harus didukung dengan melihat keterangan saksi dan bukti-bukti lain, di antaranya keterangan Aep. “Seberapa signifikan saksi tersebut untuk membuktikan bahwa para tersangka ada atau tidak ada di TKP saat kejadian,” kata Akbar.
Akbar juga menilai pengakuan ini sebagai pisau bermata dua. Dede, menurut Akbar, bisa menjadi tersangka kasus perintangan hukum (obstruction of justice) karena memberikan keterangan palsu. Namun Dede juga bisa menjadi justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama untuk mengungkap sebuah kasus. “Karena ini terkait dengan fakta hukum yang telah terbukti dalam putusan berkekuatan hukum tetap,” ujar Akbar.
Soal kemungkinan Dede menjadi tersangka, Suhendra menyatakan hal itu sudah mereka perhitungkan. Dede, menurut Suhendra, bersedia jika harus menggantikan tujuh terpidana yang telah menjalani hukuman delapan tahun belakangan karena kesaksiannya. “Dia merasa berdosa dan dia ingin menebus rasa dosanya itu, sehingga dia menyampaikanlah yang sejujurnya dan sebenar-benarnya,” ujar Suhendra.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Defara Dhayna Paramitha dan Advist Khoirrunikmah berkontribusi dalam laporan ini.