Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah pemimpin MA dilaporkan ke Komisi Yudisial atas dugaan pelanggaran etik hakim.
Pimpinan MA disebut memenuhi undangan jamuan makan malam dari seorang pengacara.
Berdasarkan keputusan Kepala Badan Pengawas Mahkamah Agung, undangan makan termasuk gratifikasi.
SEJUMLAH pemimpin Mahkamah Agung dilaporkan ke Komisi Yudisial atas dugaan pelanggaran kode etik dan profesi hakim. Dugaan itu muncul setelah hakim-hakim agung yang dilaporkan tersebut menerima jamuan makan malam dari seorang pengacara di Surabaya, Jawa Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juru bicara Komisi Yudisial, Mukti Fajar Nur Dewata, mengatakan laporan tersebut diterima Komisi Yudisial pada 19 April 2024 dengan nomor laporan 0230/IV/2024/P. “Komisi Yudisial akan memverifikasi laporan itu dengan mengecek kelengkapan persyaratan administrasi dan substansi untuk dapat diregister,” kata Mukti, kemarin, 2 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mukti tidak mau menyebutkan siapa pimpinan Mahkamah Agung yang dilaporkan dan pengacara yang mentraktir makan itu. Dia hanya menegaskan bahwa laporan itu bakal ditindaklanjuti jika ditemukan bukti yang cukup. “Sesuai dengan tugas dan fungsi KY, kami akan menindaklanjutinya dengan berbagai metode dan cara, termasuk menerjunkan tim investigasi,” katanya.
Sejumlah peserta sidang istimewa Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2023 di Jakarta Convention Center, Jakarta, 20 Februari 2024. TEMPO/Subekti
Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non-Yudisial Suharto menyatakan belum mengetahui tentang laporan yang masuk ke Komisi Yudisial itu. “Karena yang menerima aduan KY, jadi sebaiknya ditanyakan saja ke KY,” ucapnya.
Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Mahkamah Agung Nomor 28/BP/SK/III/2021 yang diterbitkan pada 5 Maret 2021, undangan makan termasuk kategori gratifikasi bagi hakim. Kecuali undangan itu diberikan oleh keluarga dekat sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan.
Dalam keputusan Kepala Badan Pengawas MA itu ditegaskan bahwa setiap gratifikasi kepada hakim dan aparatur pengadilan wajib dilaporkan jika berhubungan dengan jabatan dan/atau berlawanan dengan kewajiban. Ketentuan ini berlaku secara mutatis mutandis terhadap keluarga hakim atau aparatur pengadilan.
Pakar hukum tata negara Feri Amsari mengatakan seorang hakim, apalagi pemimpin Mahkamah Agung, seharusnya sudah memahami kode etik yang melekat pada pengadil. Secara etik, hakim sudah jelas tidak boleh berhubungan dengan pihak-pihak yang beperkara, sekalipun itu teman atau kerabat. “Hakim seharusnya punya kesadaran. Konsekuensi tugas yang dijalaninya memang berat, tapi ini demi muruah peradilan,” katanya.
Dalam menegakkan kode etik hakim, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung telah mengeluarkan keputusan bersama dengan Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 - 02/SKB/P.KY/IV/2009. Di sana tertulis prinsip-prinsip dasar kode etik dan pedoman perilaku hakim yang diimplementasikan dalam 10 aturan perilaku, yaitu adil, jujur, arif dan bijaksana, mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati, serta profesional. “Kode etik adalah jiwa. Karena itu, semestinya hakim akan sangat ketat mempertahankan muruah tersebut,” kata Feri.
Meski KY dan MA memiliki semangat yang sama untuk menegakkan kode etik hakim, penyelesaian pelanggaran sering kali mengalami kebuntuan dalam tahap eksekusi. Contoh ini terlihat pada eksekusi tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yaitu Tengku Oyong, H. Bakri, dan Dominggus Silaban. Mereka dinyatakan terbukti melanggar kode etik karena memutus penundaan Pemilihan Umum 2024. Komisi Yudisial kemudian merekomendasikan untuk memberikan sanksi non-palu kepada tiga hakim itu selama dua tahun. Namun MA justru memindahkan mereka ke pengadilan lain.
Berdasarkan catatan KY, pada 2016-2018, dari 208 rekomendasi sanksi kepada hakim, hanya 32 yang ditindaklanjuti oleh MA. Sementara itu, 34 rekomendasi diusulkan untuk diperiksa ulang dan 142 rekomendasi sama sekali tidak ada tindak lanjutnya. Kemudian, pada 2019, dari 130 rekomendasi, hanya 10 yang ditindaklanjuti oleh MA. Selanjutnya, pada 2021, dari 60 rekomendasi penjatuhan sanksi kepada hakim, hanya tiga yang dijalankan.
Pakar hukum tata negara Feri Amsari di Gedung Tempo, Jakarta, 13 Februari 2024. Dok. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Feri berpendapat problematika ini terjadi karena, dalam peraturan perundang-undangan, Komisi Yudisial tidak memiliki kewenangan penuh untuk mengawasi hakim. Komisi Yudisial hanya diberi wewenang untuk memeriksa pelanggaran etik dan hasil pemeriksaan itu sifatnya sekadar rekomendasi. Sementara itu, kewenangan untuk mengeksekusi rekomendasi KY itu berada di tangan Mahkamah Agung.
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menyatakan penjatuhan sanksi yang dilakukan oleh KY sifatnya hanya usul kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, Pasal 32A ayat 1 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 39 ayat 3 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi peradilan yang memiliki kewenangan penuh terhadap hakim di seluruh lembaga peradilan.
Menurut Feri, sudah seharusnya Komisi Yudisial diberi kewenangan penuh untuk menjalankan fungsi pengawasan agar dapat menegakkan konstitusi secara maksimal. “Sudah waktunya kewenangan KY diperkuat agar bisa mengeksekusi langsung,” kata Feri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo