Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Walau kerap digunakan sebagai foto ikonik perayaan Hari Pahlawan dan mudah ditemukan di buku-buku pelajaran, foto Bung Tomo mengacungkan jari dengan sorot tajam itu menyimpan sejumlah misteri. Mulai dari lokasi hingga fotografer di balik potret tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu-satunya informasi pasti tentang potret itu adalah negatif atau film yang digunakan untuk memperbanyak foto dimiliki oleh Indonesia Press Photo Service alias IPPHOS. “Koleksi IPPHOS jarang memiliki kredit foto lengkap,” kata Oscar Motuloh selaku Kepala Galeri Foto Jurnalistik Antara sebagaimana dikutip dari Majalah Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya, Foto Bung Tomo Diduga Diambil oleh Mendur Bersaudara
Meskipun negatif foto Bung Tomo dimiliki oleh IPPHOS, penelusuran Majalah Tempo menyebut bahwa organisasi ini justru berdiri setahun setelah peristiwa 10 November 1945 atau tepatnya pada 2 Oktober 1946.
Waktu itu, IPPHOS didirikan oleh Alex dan Frans Mendur. Namun, keduanya sedang berada di Yogyakarta ketika Bung Tomo memberikan semangat pada anak-anak muda di Surabaya.
Karena itu, dugaan bahwa foto tersebut diambil oleh fotografer sekaligus pendiri IPPHOS, Alex dan Frans, dirasa kurang tepat.
Dugaan Beralih pada Abdoel Wahab Saleh
Dugaan berikutnya merujuk bahwa foto Bung Tomo diambil oleh Abdoel Wahab Saleh, Kepala Foto Kantor Berita Domei Surabaya saat itu. Dugaan ini tidak terlalu liar sebab Wahab dan Bung Tomo berkantor di tempat yang sama, 500 meter dari Hotel Yamato di Surabaya kala itu.
Baca juga:
Sayangnya dugaan ini digugurkan oleh Yudhi Soerjoatmodjo, fotografer sekaligus peneliti orisinalitas foto Bung Tomo. Sebab, sejumlah harian ternama waktu itu, seperti Harian Merdeka, Ra’jat, dan Kedaulatan Rakyat merujuk foto tersebut sebagai hasil pemotretan Antara. Tetapi sebenarnya tidak ada satu pun dari beberapa harian ternama itu yang memuat potret ikonik Bung Tomo.
Selain itu, rekaman dokumenter milik Raden Mas Sutarto dari Berita Film Indonesia menunjukkan bahwa pertempuran di Surabaya melibatkan armada udara sehingga terasa tidak mungkin Bung Tomo melakukan orasi besar-besaran di lapangan terbuka.
Pernyataan Hario Kecik Menggugurkan Dugaan terhadap Abdoel Wahab Saleh
Lebih lanjut, hasil wawancara Yudhi Soerjoatmodjo dengan Hario Kecik atau Suhario Padmodiwiryo, purnawirawan jenderal Tentara Nasional Indonesia waktu itu, menyebut bahwa potret Bung Tomo tidak mungkin diambil pada November 1945.
Sebab, menurut Hario, Bung Tomo berambut pendek ketika peristiwa Surabaya membara, tidak berambut gondrong sebagaimana foto ikonik tersebut.
Akhirnya, pencarian Yudhi bermuara pada majalah dwibahasa Nanyang Post edisi Februari 1947. Dalam majalah tersebut, terpampang potret Bung Tomo dengan tulisan “Rapat oemoem di Malang jang baroe ini, mengoempoelkan pakaian-pakaian boeat korban-korban Soerabaia. Jang lagi berbitjara pemimpin pemberontak Toean Soekarno.”
Mendur Bersaudara Kembali Dinilai Menjadi Dugaan Terbaik
Walaupun bukti foto pada majalah Nanyang cukup menyakinkan, Yudhi dan Oscar Motuloh masih tetap berselisih pandang. Namun, keduanya sepakat dan menyakini bahwa potret tersebut tidak diambil di Surabaya saat 10 November 1945.
Dalam Majalah Tempo, Oscar dan Yudhi menyebut bahwa potret ikonik Bung Tomo kemungkinan memang diambil oleh Frans Mendur, saudara Alex Mendur. “Frans salah satu dari belasan fotografer perang yang dilantik Soedirman (waktu itu),” kata Yudhi.
Selain itu, Yudhi meyakini bahwa foto ikonik Bung Tomo tersebut diterbitkan pertama kali pada 1949 di album foto Lukisan Revolusi. Kumpulan foto ini kebetulan banyak diisi oleh Alex dan Frans Mendur serta Abdoel Wahab Saleh.
Karena itu, dugaan bahwa foto Bung Tomo diambil oleh Mendur bersaudara dinilai cukup akurat. Terlebih lagi, rekaman pidato Bung Tomo saat Pertempuran 10 November yang penuh semangat selaras dengan imaji pada foto tersebut.
ACHMAD HANIF IMADUDDIN