Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi meminta kepada pimpinan di Kementerian, Lembaga dan juga Pemerintah Daerah untuk mengingatkan anak buahnya yang belum menyelesiakan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Juru bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan sebanyak 11.114 penyelenggara negara wajib lapor belum menyampaikan LHKPN, padahal tenggat waktu yang diberikan oleh KPK sampai 11 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Para pimpinan juga agar mengingatkan kepatuhan pelaporan harta kekayaan bagi setiap wajib lapor di instansinya masing-masing," kata dia saat dihubungi Tempo pada Minggu, 11 Mei 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Budi mengatakan KPK akan mendorong kepada penyelenggara negara tersebut untuk memenuhi kewajiban LHKPN-nya. Saat ini sudah 404.761 penyelenggara negara telah melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dari total 415.875 yang wajib melapor. "Tingkat kepatuhannya mencapai 97,33 persen," ujar dia.
Selain itu, terdapat 41.879 penyelenggara negara yang telah melaporkan LHKPN, namun masih belum lengkap. Menurut Budi, kekurangan tersebut sebagian besar berkaitan dengan surat kuasa.
Jumlah penyelenggara negara yang LHKPN-nya telah terverifikasi lengkap tercatat sebanyak 362.882 orang. Budi menjelaskan bahwa KPK telah menyediakan fasilitas e-Meterai untuk memudahkan para penyelenggara negara dalam menyampaikan surat kuasa. "Hal ini tentu menjadi kemudahan bagi para wajib lapor untuk pemenuhan surat kuasa tersebut, sehingga dengan pemenuhan surat kuasa LHKPN yang disampaikan kemudian bisa dinyatakan lengkap," ujarnya.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada atau Pukat UGM Zaenur Rohman meragukan kebenaran LHKPN yang telah dilaporkan oleh penyelenggara negara wajib lapor atau PN/WL. Karena itu, Zaenur mengatakan KPK harus menelaah secara menyeluruh kebenaran dari LHKPN tersebut.
"Saya ragu soal LHKPN. Apalagi selama ini kasus-kasus yang terjadi ternyata diketahui LHKPN dengan harta sebenarnya yang dimiliki disparitasnya sangat tinggi," kata dia saat dihubungi Tempo pada Jumat, 18 April 2025.
Salah satu contoh, kata Zaenur, LHKPN milik Rafael Alun Trisambodo yang pada 2021 sebesar Rp 56 miliar. Namun setelah diusut oleh KPK, banyak aset-aset lainnya yang diduga dimiliki oleh Rafael, namun tidak tercatat dalam LHKPN.
Zaenur menyampaikan jika ditemukan kejanggalan dalam LHKPN, KPK harus menindaklanjutinya dengan melakukan investigasi. Selanjutnya, perlu dilakukan telaah lebih mendalam dengan mencocokkan data laporan tersebut dengan transaksi keuangan yang relevan.
"Kemudian kalau memang mengarah kepada tindak-tindak korupsi misalnya, apakah itu pencucian uang, apakah itu korupsi atau lainnya, ya KPK bisa buka dalam bentuk penyelidikan," kata dia.
Pilihan Editor: Mengapa Prabowo Tak Bisa Tegas Kepada Hercules dan GRIB Jaya