KEPULAN asap dari rumah Andi, Minggu malam pekan lalu, mengagetkan warga di Gang Padesin, Jalan Otista I, Jakarta Timur. Mereka pun panik ketika kepulan asap itu semakin tebal dan kemudian berkobar menjadi api besar. Warga segera berdatangan dan berusaha memadamkan. Sebagian menggedor pintu rumah, tapi tak mendapat jawaban. Akhirnya, pintu didobrak. "Brak...." Mereka terkejut menemukan pemilik rumahnya, Andi dan Dasiyem, terkapar bersimbah darah, terpisah beberapa meter. Api memang bisa dipadamkan, sebelum menghanguskan seluruh rumah. Tapi Dasiyem sudah tak bernyawa lagi. Sedangkan suaminya, Andi, terluka parah. Andi langsung dibawa ke RS Cipto Mangunkusumo guna mendapat pertolongan intensif. Kejadian itu, menurut Kadispen Polda Metro Jaya, Letnan Kolonel Latief Rabar, disaksikan Syarifuddin, anak tiri Andi. Mengutip penuturan anak berusia tujuh tahun itu, polisi menjelaskan, malam itu Syarifuddin melihat ibu dan ayah tirinya bertengkar. Tak berapa lama, Andi keluar rumah lalu masuk lagi. Entah setan mana yang merasuki kepala Andi malam itu. Lelaki berusia 35 tahun itu menusukkan pisau ke tubuh istrinya beberapa kali hingga wanita yang sedang hamil enam bulan itu jatuh terkapar. Setelah itu, Andi menyiramkan minyak tanah ke salah satu sudut rumah, lalu menyulutkan api. Api pun berkobar. Ketika itulah, Andi mencoba menghabisi nyawanya sendiri dengan cara menusukkan pisau itu ke leher dan perutnya. Toh nyawanya bisa diselamatkan penduduk. Andi, yang berperawakan kurus dan berkumis tipis itu, dalam penuturan salah seorang tetangga dekatnya, sejak bujangan sudah tinggal di Gang Padesin. Keturunan Cina beragama Islam itu dikenal pandai bergaul dan akrab dengan warga sekitarnya. Andi, misalnya, sering kelihatan datang ke musala. "Dia rajin salat dan pandai mengaji," kata seorang tetangganya yang tak mau menyebut namanya. Tahun lalu Andi menikah dengan Dasiyem, 30 tahun, janda beranak dua -- masing-masing berumur tujuh dan dua tahun -- yang berasal dari Cirebon. Mereka berempat tinggal di rumah petak sempit. Semula Andi membuka warung kecil di rumahnya. Karena kalah bersaing, warungnya bangkrut. Ia lalu coba-coba berjualan jagung bakar di Jalan Otista Raya -- di mulut Gang Padesin. Usaha itu ternyata juga tak berumur panjang. Mulai saat itulah, lelaki yang jalannya agak pincang itu menjadi penganggur. Tak pelak lagi, kesulitan ekonomi tampaknya "akrab" dengan keluarga ini. "Dia hanya tinggal di rumah. Kadang-kadang memanggil temannya untuk bermain gaple," kata salah seorang tetangganya itu. Sedangkan istrinya sehari-hari bekerja sebagai tukang cuci pakaian. Konon, karena kesulitan ekonomi itu, Andi terdorong pindah agama ke Kristen. Ia pun berhasil mengajak istrinya mengikuti jejaknya. Toh keadaan ekonomi keluarga itu tetap tak membaik. Anak tirinya, Syarifuddin, juga belum bisa masuk sekolah kendati sudah berusia tujuh tahun. Kesulitan hidup itulah yang membuat suami-istri itu sering cekcok. Karena rumah di Gang Padesin itu berdempetan, suara perang mulut mereka selalu didengar para tetangga. "Tetangganya sudah biasa mendengar mereka cekcok. Kami sudah tak mau ambil pusing," komentar salah seorang warga. Begitu pula pada Minggu malam itu. Sepulang dari gereja, menurut salah seorang tetangganya, Andi dan Iyem cekcok hebat. Rupanya, kemarahan Andi sudah mencapai ubun-ubun. "Mungkin dia tak tahan dikatai istrinya sebagai pengangguran dan lelaki yang tak bertanggung jawab," cerita sumber ini. Puncaknya, Andi menusuk istrinya yang sedang hamil enam bulan itu. Setelah istrinya roboh, Andi bermaksud menghabisi juga kedua anak tirinya, yaitu dengan membakar rumah. "Bahkan kedua anaknya sudah dimasukkan ke kolong tempat tidur," kata sumber itu. Tapi Syarifuddin, anaknya yang berusia tujuh tahun, berhasil melarikan diri, sementara Agus, yang berusia dua tahun, diselamatkan petugas pemadam kebakaran. Andi, yang sekarang terbaring di RSCM, belum bisa berbicara banyak karena lehernya terbalut perban. Usaha bunuh diri itu, dalam pengakuan Andi, sudah pernah dicoba sebelumnya, tapi selalu gagal. Dan hingga sekarang dia belum tahu bahwa istrinya meninggal. "Istri saya kok nggak bersama saya di sini," katanya dengan nada lemah. GT dan Tommy Tamtomo (Biro Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini