Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pelanggaran Etik Hakim: Banyak Laporan Sedikit Sanksi

Jumlah pengadil yang dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik hakim meningkat. Kewenangan Komisi Yudisial terbatas.

4 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Makin banyak jumlah pengadil yang dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik hakim.

  • Jumlah laporan yang diterima Komisi Yudisial pada tahun lalu meningkat dibanding setahun sebelumnya.

  • Indeks Integritas Hakim 2023 lebih baik ketimbang indeks 2022.

SEPANJANG 2023, Komisi Yudisial, menerima 3.593 laporan dari masyarakat tentang dugaan pelanggaran kode etik hakim dan pedoman perilaku hakim (KEPPH). Dari jumlah itu, baru 15 hakim yang dijatuhi sanksi ringan, 10 hakim mendapat sanksi sedang, dan 17 hakim divonis sanksi berat. “Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun lalu yang jumlahnya 2.925 laporan,” kata Ketua Komisi Yudisial Amzulian Rifai, 2 April lalu, kepada Antara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk laporan masyarakat pada 2023, kata Amzulian, ada 2.037 perkara yang bisa diklasifikasikan dalam bidang pidana, 525 laporan; perdata, 1.053 laporan; dan 459 laporan perkara lain. Adapun berdasarkan wilayah, tiga pelaporan tertinggi terdapat di Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ilustrasi hakim. PEXELS

Untuk kategori ini, Komisi Yudisial telah melanjutkan pemeriksaan. Hasilnya, sebanyak 42 hakim diusulkan mendapat sanksi. “Ada 15 hakim dikenai sanksi ringan, 10 hakim dikenai sanksi sedang, dan 17 hakim dikenai sanksi berat,” kata Amzulian.

Menurut dia, jumlah hakim yang mendapat sanksi lebih sedikit dibanding jumlah laporannya karena tak semua laporan ditindalanjutkan Komisi Yudisial. “Kami memproses laporan yang menyangkut kode etik dan pedoman perilaku hakim saja,” katanya. Teknis yudisial lain dalam pemberian sanksi menjadi kewenangan Mahkamah Agung. “Nah, masyarakat asal melapor saja kalau menyangkut pengadilan, padahal ada kewenangan MA juga,” kata dia.

Selain itu, kata Amzulian, Komisi Yudisial acap kesulitan menindaklanjuti laporan karena bukti-bukti tentang dugaan pelanggaran etik hakim sulit didapat. Ada kalanya Komisi tidak melanjutkan laporan masyarakat yang mereka terima karena sudah terlebih dahulu ditangani Badan Pengawas Mahkamah Agung.  

Juru bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata, mengatakan banyaknya laporan perilaku hakim yang diterima Komisi Yudisial menunjukkan masyarakat masih menaruh harapan terhadap Komisi Yudisial untuk terus memperbaiki lembaga peradilan. Namun laporan-laporan itu tidak serta-merta menunjukkan integritas hakim telah merosot. “Masyarakat ingin ikut andil dalam menjaga integritas hakim,” ujar Mukti. 

Paling tidak, berdasarkan Indeks Integritas Hakim 2023, terdapat peningkatan sebesar 0,15 poin dibanding indeks 2022. Pada tahun lalu, indeks integritas hakim berada di angka 7,99, sedangkan pada 2022 sebesar 7,84 dan pada 2021 sebesar 7,41. Adapun variabel untuk menentukan indeks integritas ini adalah kejujuran, keteguhan, wawas diri atau self control, dan self esteem

Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan kenaikan indeks integritas hakim menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat juga bertambah kepada pengadil. Ia berharap capaian ini bisa dipertahankan, bahkan ditingkatkan. “Menjaga muruah peradilan di era partisipasi masyarakat yang tinggi bukanlah perkara mudah,” ujar Ma’ruf Amin.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin (kiri) dan Ketua Komisi Yudisial (KY) Amzulian Rifai menghadiri penyampaian laporan tahunan Komisi Yudisial 2023 di Jakarta, 2 April 2024. ANTARA/Hafidz Mubarak A.

Ketua Pusat Studi Kebijakan Kriminal Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Nella Sumika Putri berpendapat, peningkatan indeks integritas hakim pada tahun lalu belum tentu dipahami secara utuh oleh masyarakat. Karena itu, perlu pemaparan yang lebih jelas tentang data statistik dan metodologi yang digunakan.

Nella setuju untuk melibatkan masyarakat lebih proaktif dalam mengawasi kinerja hakim di setiap tingkatan pengadilan. Sebab, Komisi Yudisial memiliki keterbatasan dalam menjalankan peran pengawasan terhadap seluruh hakim di Indonesia. Ia optimistis berbagai elemen masyarakat bersedia menjadi mata-telinga KY dalam mendapatkan informasi tentang kinerja hakim. “Orang tak akan percaya lagi kepada penegak hukum kalau hakimnya tidak bisa menjaga kualitas dan integritas,” katanya.

Nella mengatakan individu yang sedang beperkara di pengadilan bisa melaporkan hakim ke KY jika mendapat perlakuan yang tidak wajar. Misalnya, hakim berbicara tidak pantas saat menangani perkara kekerasan seksual. “Jangan sampai korban justru menjadi korban lagi di pengadilan,” katanya.

Seorang hakim, kata Nella, harus mampu memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan. Karena itu, dalam setiap persidangan, hakim selalu mendapat sebutan “Yang Mulia”. Sebutan ini untuk menunjukkan bahwa hakim menempati posisi yang terhormat dan segala keputusannya akan memberi dampak.

Meski ada hakim yang diduga melanggar kode etik, kata Nella, belum tentu orang yang dirugikan akan hal itu melapor ke KY. Salah satu alasannya adalah butuh waktu lagi untuk mengawal pelaporan etik hakim terlapor. “Bisa jadi karena tidak ada harapan, tidak yakin pada hakimnya, atau merasa bingung,” ucapnya.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur sependapat dengan Nella Sumika. Menurut dia, meningkatnya jumlah hakim yang dilaporkan ke KY bisa diartikan dua sisi, yaitu ada kemungkinan makin banyak pelanggaran atau masyarakat makin mau berpartisipasi melapor. “Tapi tingginya pelaporan tidak membuktikan apa-apa,” ucapnya.

Menurut Isnur, pertanyaan penting yang harus dijawab adalah bagaimana tindak lanjut pelaporan yang diterima Komisi Yudisial tersebut. Keseriusan KY dalam menanggapi setiap laporan, kata dia, harus berujung pada upaya memperbaiki permasalahan.  

Sebab, bukan hanya pelanggaran etik hakim yang mengemuka. Isnur mencontohkan kasus korupsi yang diduga melibatkan hakim agung dan sekretaris Mahkamah Agung. Kasus ini menjadi contoh buruk karena tindak pidana justru dilakukan oleh orang yang semestinya jadi panutan. “Apalagi ini level tertinggi lembaga peradilan, yaitu Mahkamah Agung,” katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus