Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ragu Eva Memohon Grasi

Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada Eva Bande. Pendamping petani Banggai, Sulawesi Tengah, "melawan" perkebunan sawit dalam konflik sengketa lahan itu dihukum dengan bukti yang meragukan.

29 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kue tart cokelat berhias tulisan "Berani Punya Cita-cita, Berani Menderita" itu menjadi kejutan yang menyenangkan bagi Eva Susanti Hanafi Bande, 36 tahun. Ahad pekan lalu, di Sekretariat Wahana Lingkungan Hidup Jakarta, kalangan aktivis yang diwakili Rieke Diah Pitaloka memberikan kue itu kepada Eva. "Akhirnya saya makan kue cokelat lagi. Lama sudah saya tak merasakannya," kata Eva gembira.

"Kado" kue itu memang untuk merayakan kebebasan Eva Bande dari hukuman penjara. Pada 19 Desember lalu, aktivis agraria asal Banggai, Sulawesi Tengah, ini mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo.

Eva bebas setelah ditahan hampir satu tahun. Sebelumnya, dia ditahan 4 bulan 25 hari pada 2010, tatkala menjalani pemeriksaan di Kepolisian Resor Luwuk, Banggai. Pada 12 November 2010, Pengadilan Negeri Luwuk memvonis Eva empat tahun penjara. Hukuman ini lebih berat daripada tuntutan jaksa, yakni 3 tahun 6 bulan penjara. Hukuman itu dikuatkan lagi oleh Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah. Sempat dibebaskan, sejak Mei 2014 Eva kembali dibui setelah Mahkamah Agung menolak permohonan kasasinya.

Eva divonis bersalah melanggar Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karena dianggap menghasut petani dalam unjuk rasa pada 26 Mei 2010. Waktu itu Eva, yang menjadi Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit, datang ke lokasi demonstrasi di Desa Bumi Harapan, Kecamatan Toili Barat, Banggai.

Sejak Eva menjalani pemeriksaan di kepolisian, aktivis di berbagai daerah menuntut pembebasannya. Para aktivis menyebut tak ada bukti Eva melakukan penghasutan seperti dituduhkan polisi. "Kami tak bisa membiarkan begitu saja Eva dikriminalisasi," kata Ketua Koordinator Perhimpunan Nasional Aktivis (Pena) 1998 Sulawesi Tengah, Yahdi Basma.

Upaya pembebasan Eva ditindaklanjuti Pena 98 Jakarta setelah Jokowi terpilih sebagai presiden. Menurut Koordinator Relawan Nasional Pena 1998 Mustar Bona Ventura, kasus Eva pertama kali dibicarakan dengan Jokowi sekitar satu bulan sebelum pelantikan presiden. Ketika itu Mustar bersama Adian Napitupulu, Sekretaris Jenderal Pena 98, menemui Jokowi di Balai Kota DKI Jakarta.

Setelah pertemuan di Balai Kota, Mustar dan kawan-kawan terus mengingatkan Jokowi perihal Eva itu, kendati kesempatan mereka bertemu dengan Jokowi hanya satu atau lima menit. Itu, misalnya, ketika Jokowi mengunjungi korban bencana di Sinabung, Sumatera Utara.

Upaya pembebasan Eva Bande semakin terang ketika Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, pada November 2014, menghubungi Eva di Lembaga Pemasyarakatan Petobo, Palu. Yasonna memberi tahu rencana Presiden memberikan grasi kepada Eva.

Kepada Tempo, Eva bercerita dirinya sempat bimbang menerima tawaran itu. Maklum, sampai di penjara untuk kedua kalinya, Eva merasa yakin tak melakukan "kejahatan" seperti dituduhkan jaksa. Namun, setelah melihat sisi niat baik Presiden, Eva pun membuat surat permohonan grasi.

Pada 5 Desember lalu, surat itu berisi permohonan grasi itu pun ia kirim ke Presiden. Ia tidak sendiri membuat surat ini. "Dibantu staf di lembaga pemasyarakatan," katanya. Dua pekan kemudian, Presiden Jokowi mengeluarkan surat keputusan pemberian grasi untuk ibu tiga anak ini.

l l l

Konflik petani Banggai dengan PT Berkat Hutan Pusaka membara sejak perusahaan sawit itu mendapat izin hutan tanaman industri (HTI) 13.400 hektare pada 1996. Pemicunya, menurut Eva, peta HTI yang dikantongi PT Berkat tumpang-tindih dengan lahan milik masyarakat.

PT Berkat Hutan Pusaka semula merupakan perusahaan patungan antara PT Kurnia Luwuk Sejati dan PT Inhutani I. Sebanyak 60 persen sahamnya dikuasai PT Kurnia, milik taipan lokal Murad Husain. Sisanya dimiliki PT Inhutani I. Pada 2007, PT Kurnia mengakuisisi seluruh saham milik Inhutani.

Selain memegang izin HTI, PT Berkat mengklaim memiliki hak guna usaha di atas area 6.010 hektare pada 1991. Menurut Eva, lahan HGU itu pun tumpang-tindih dengan lahan milik petani di beberapa desa di Kecamatan Toili, seperti Desa Tou, Moilong, Singkoyo, dan Benteng.

Pada 2002-2004, petani mulai mengambil alih lagi lahan yang dicaplok perusahaan. Mereka menanami lahan itu dengan berbagai jenis tanaman, seperti kakao, rambutan, dan durian. PT Kurnia Luwuk pun tak tinggal diam. Pada 2008, perusahaan menggusur tanaman petani dan menggantinya dengan sawit.

Untuk mempertahankan hak petani, pada 2008 Eva dan beberapa kawannya membentuk Front Rakyat Advokasi Sawit Sulawesi Tengah. "Mereka memberi pelatihan berorganisasi dan memperjuangkan hak-hak petani," kata Ketua Serikat Tani Piondo, Badaruddin.

Pada awal Mei 2010, PT Berkat memutus jalan yang menghubungkan desa petani dengan ladang mereka. Dengan alat berat, PT Berkat membuat galian dengan kedalaman sekitar delapan meter di beberapa ruas jalan.

Petani yang tak bisa melewati jalan itu awalnya berupaya bernegosiasi dengan perusahaan. Petani meminta jalan yang digali diuruk lagi agar mereka bisa pergi ke ladang yang ketika itu hampir panen. Namun permintaan itu tak diindahkan.

Dalam rembukan di Balai Desa Piondo, Toili, warga pun sepakat menggelar demonstrasi. Pada hari yang disepakati, Rabu, 26 Mei 2010, sekitar 200 lelaki dan perempuan mendatangi kantor PT Berkat Hutan Pusaka di Desa Bumi Harapan, Kecamatan Toili Barat, Banggai.

Petani dari berbagai desa berkumpul sejak pukul 09.00 di lokasi yang berjarak 700 kilometer dari Kota Palu itu. Massa meminta bertemu dengan pimpinan PT Berkat dan pegawai yang mengoperasikan alat berat. Nah, Eva Bande juga berada di tengah-tengah unjuk rasa petani itu.

Setelah petani satu jam berunjuk rasa serta tak ada tanda-tanda perusahaan akan merespons tuntutan mereka, massa pun bergerak menuju Base Camp 24 di Desa Bukit Jaya, Kecamatan Toili. Base Camp 24 adalah asrama karyawan PT Berkat. Jaraknya sekitar tiga kilometer dari kantor PT Berkat.

Dalam perjalanan, massa yang sudah marah itu melihat buldoser milik PT Berkat. Tanpa komando, mereka segera membakar alat berat tersebut. "Aksi itu di luar perkiraan karena massa marah," kata Eva. Setelah membakar buldoser, massa merusak kantor, ekskavator, dan kamp karyawan PT Berkat.

Buntut demonstrasi yang ricuh itu, polisi menangkap 20 petani dan empat aktivis. Selain Eva, tiga aktivis yang dituduh sebagai penghasut adalah I Nyoman Suarna, Arif Benu, dan Nasrun Mbau.

Sujarwadi, kuasa hukum Eva dari Lembaga Bantuan Hukum Sulawesi Tengah, mengatakan putusan pengadilan atas 20 petani yang terlibat demonstrasi membuktikan kekerasan terjadi karena dorongan emosi. "Tak ada satu pun putusan yang menyebutkan petani melakukan perusakan karena dihasut," kata Sujarwadi. Toh, hakim memvonis Eva dan tiga temannya bersalah karena menghasut massa melakukan perusakan.

Di Mahkamah Agung, Eva kembali dinyatakan bersalah karena menghasut. Putusan kasasi yang diambil dalam musyawarah hakim pada 2 April 2013 itu tak bulat. Ketua majelis hakim Imron Anwari dan hakim anggota Timur P. Manurung menyatakan Eva bersalah. Sedangkan hakim anggota Surya Jaya menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion).

Surya ragu terhadap keterangan satu-satunya saksi yang memberatkan Eva. Saksi bernama Mahyudin itu adalah Manajer PT Berkat. Mahyudin mengaku mendengar Eva berteriak, "Lempar dan bakar! Hadirkan manajer!"

Surya menilai keterangan Mahyudin sangat lemah karena tak didukung bukti ataupun keterangan saksi lain. Selain itu, menurut Surya, Mahyudin yang bekerja di PT Berkat berada dalam posisi subyektif, sehingga kebenaran keterangannya pantas diragukan.

Hakim Surya pun berpendapat pertanggungjawaban pidana para anggota kelompok atau massa yang melempar dan membakar tak bisa dialihkan kepada Eva selaku pemimpin aksi.

Kini, setelah Eva diampuni Presiden Jokowi, pemilik PT Kurnia Luwuk Sejati, Murad Husein, mengunci mulut. "Bapak sedang istirahat, belum bisa diganggu," kata salah satu anggota staf Murad ketika Tempo meminta waktu untuk wawancara, Selasa pekan lalu.

Herwin Yatim, mantan Direktur PT Kurnia Luwuk Sejati yang kini menjadi Wakil Bupati Banggai, juga menolak dimintai konfirmasi perihal "peristiwa Mei 2010" yang mengantar Eva dan kawan-kawan ke bui. "Sejak menjadi wakil bupati, Pak Herwin menyatakan tidak terlibat lagi dalam perusahaan tersebut," kata seorang ajudan Herwin.

Yuliawati, Amar Barase (Palu)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus