Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat hukum dari Universitas Tarumanegara, Hery Firmansyah, menilai Komisi Yudisial (KY) harus lebih tegas dalam mengusut dugaan pelanggaran kode etik dalam kasus salah ketik putusan Mahkamah Agung. Sebaliknya, KY justru mengklaim apa pun rekomendasi yang diberikan, hanya MA yang bisa memutuskan apakah akan mentaati atau tidak.
"Lembaga negara itu kan ada diferensiasi fungsional atau pembagian tugasnya, KY di sini harus tegas memantau hakim, karena menyangkut persoalan ketertiban umum yang akan terganggu," kata Hery dalam diskusi di Jakarta, Sabtu, 8 April 2017. "Bola panas sekarang ada juga ada di MA, kalau tidak diperbaiki, maka penegak hukum lainnya akan terpengaruh."
Baca: Mahkamah Agung Akui Salah Ketik Putusan Uji Materi DPD
Sebelumnya, MA mengakui kekeliruan dalam hal penulisan putusan uji materi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Poin yang salah itu tertulis, "Memerintahkan kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mencabut Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 Tanggal 21 Februari 2017 tentang Tata Tertib."
Farid Wajdi, juru bicara KY, menegaskan putusan KY tidak eksekutorial dan tergantung MA mau mengikuti atau tidak. "Pelanggaran kode etik tidak akan mempengaruhi putusan, kita belum mengetahui apakah kasus salah ketik ini murni pelanggaran etika atau hanya administrasi," ucapnya.
Farid menambahkan, saat ini belum ada laporan resmi dari masyarakat terkait dengan kasus salah ketik putusan MA tersebut. KY, menurut dia, masih pada tahap pengumpulan informasi. "Perlu digarisbawahi bahwa KY juga hanya bisa menyatakan pelanggaran etika bagi hakim, kalau salah ketiknya di panitera, itu bukan ranah KY," ujarnya.
Lebih jauh, Farid mendorong kepada para hakim untuk lebih melakukan peninjauan pada setiap putusan hal semacam ini bisa dihindari. "Karena pertanggungjawabannya bukan hanya ke pihak terlapor, tapi juga ke publik."
Wakil Ketua DPD Periode 2004-2019 yang juga Komisioner Ombudsman, Laode Ida, menilai KY tidak bisa melihat kasus ini sekadar kekeliruan biasa, karena menyangkut masalah tata bernegara. "Tidak bisa disebut cuma administrasi, negara ini kan semuanya juga memang administrasi," katanya.
FAJAR PEBRIANTO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini