Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Penugasan Janggal Brigadir Ridhal

Keluarga tak menyanggah kesimpulan Brigadir RA bunuh diri. Namun alasan keberadaan Ridhal di Jakarta masih menjadi misteri.

4 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Keluarga tidak menyanggah kesimpulan Brigadir RA bunuh diri.

  • Alasan keberadaan Ridhal di Jakarta masih menjadi misteri.

  • Satuan Lalu Lintas Polresta Menado menyebutkan Ridhal tengah cuti.

JENAZAH Brigadir Ridhal Ali Tomi—lebih sering ditulis Brigadir RA—relatif mulus. Tak ada luka di tubuhnya, kecuali sebuah lubang di pelipis kanan yang tembus ke sisi kiri atas. "Saya yang periksa badannya. Saya yang mandikan, jadi saya tahu,” kata Rudi Dagong, sepupu Ridhal, yang dihubungi Tempo pada 1 Mei 2024. Luka tersebut belakangan menjadi salah satu indikasi Ridhal bunuh diri dengan tembakan senjata api.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rudi menegaskan, ketika memandikan jenazah, dia mengamati jasad Ridhal dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Enggak ada apa-apa. Tidak ada lebam atau tanda-tanda penganiayaan,” katanya. “Cuma luka di kepala itu saja, yang tertembak itu.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ridhal ditemukan tewas di dalam mobil Toyota Alphard hitam di teras sebuah rumah di Jalan Mampang Prapatan IV, Nomor 20, Tegal Parang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, pada 25 April 2024. Pemilik rumah itu bernama Indra Pratama, yang oleh tetangga dikenal sebagai pengusaha tambang batu bara.

Dari hasil penyelidikan, polisi menyimpulkan Ridhal tewas bunuh diri menggunakan pistol jenis HS-9. Senjata api itu pun tercatat milik Ridhal. Untuk memastikan kesimpulan itu, keluarga mengutus Rudi Dagong dan dua kerabat ke Jakarta. Setelah memeriksa kondisi jenazah, Rudi, yang merupakan anggota Kepolisian Daerah Sulawesi Utara, tidak menyanggah kesimpulan penyelidik Kepolisian Resor Jakarta Selatan tersebut. “Kami akan membawa jenazah pulang untuk dimakamkan,” kata Rudi.

Rekaman Closed Circuit Television (CCTV) kematian Brigadir Ridhal Ali ditayangkan saat konferensi pers di Jakarta, 29 April 2024. TEMPO/Advist Khoirunikmah

Meski penyebab kematian Ridhal sudah jelas, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tetap meminta klarifikasi dari Polda Sulawesi Utara ihwal alasan keberadaan bintara polisi itu di Jakarta. Sebab, sampai akhir hayatnya, Brigadir Ridhal Ali Tomi masih tercatat sebagai anggota Polresta Manado. “Namun, dari informasi yang kami terima, Ridhal sudah pergi ke Jakarta sejak 2021,” kata Ketua Harian Kompolnas Benny Jozua Mamoto.

Berdasarkan hasil pemeriksaan Inspektorat Pengawas Daerah serta Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Sulawesi Utara, kata Benny, Ridhal mengikuti bekas atasannya yang dimutasikan ke Jakarta. Namun Benny enggan menyebutkan identitas bekas atasan Ridhal itu.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulawesi Utara Komisaris Besar Michael Irwan Thamsil menjelaskan, Ridhal Ali adalah anggota Satuan Lalu Lintas Polresta Manado. Namun Polresta Manado belum pernah menugaskan Ridhal ke Jakarta. “Kepergiannya tanpa sepengetahuan dari pimpinan atau kepala satuan kerja,” katanya, seperti dikutip dari Antara. “Dari keterangan saksi-saksi, yang bersangkutan menjadi ajudan atau driver dari seorang pengusaha di Jakarta.”

Indra Pratama mengatakan telah mengenal Ridhal Ali cukup lama ketika tengah mengurus pekerjaan di Manado. Namun dia tidak ingat secara pasti kapan pertemuan pertama itu terjadi. Adapun kedatangan Ridhal di kediamannya di Mampang Prapatan adalah untuk bersilaturahmi. “Dia baru seminggu di sini,” ujar Indra. Ia membantah jika disebut mempekerjakan Ridhal sebagai ajudan atau sopir.

Komisioner Kompolnas Poengky Indarti menilai informasi tentang alasan keberadaan Ridhal Ali di Jakarta masih simpang siur. Istri Ridhal, ketika dimintai keterangan, mengatakan suaminya sedang menjalankan tugas dalam Bantuan Kendali Operasi (BKO). Sedangkan menurut keterangan dari Satuan Lalu Lintas Polresta Manado, Ridhal tengah cuti tugas sejak 10 Maret 2024. “Kalau benar cuti, seharusnya senjata api yang dipegang dikembalikan ke penyimpanan asal,” katanya.

Karena itu, kata Poengky, atasan langsung Ridhal Ali perlu diperiksa untuk menjelaskan pergerakan anak buahnya. Jika memang Ridhal ditugaskan ke Jakarta, tentu harus ada surat perintah atau surat penugasan. “Tidak bisa seenaknya atau seenak komandan,” kata dia.

Personel Puslabfor Mabes Polri menunjukkan barang bukti berupa senjata api HS milik Brigadir Ridhal Ali di Jakarta, 29 April 2024. ANTARA

Poengky melanjutkan, dalam hierarki Polri, hubungan antara atasan dan bawahan mengacu pada Peraturan Kapolri Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pengawasan Melekat di Lingkungan Polri. Aturan ini wajib dilaksanakan oleh atasan kepada bawahan dalam bentuk pemantauan dan/atau pemeriksaan. “Atasan wajib tahu dan terikat dengan aturan pengawasan melekat terhadap anak buahnya,” kata dia.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menjelaskan, penugasan kepada anggota Polri untuk menjadi ajudan dan pengawal merujuk pada Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2017 tentang Penugasan Anggota Polri di Luar Struktur Organisasi Polri.

Dalam Pasal 8 ayat 2 huruf a ditetapkan 11 pejabat negara yang bisa didampingi oleh ajudan. Di antaranya presiden dan wakil presiden, Ketua atau Wakil Ketua MPR, DPR, dan DPD, hakim agung, serta bupati atau wali kota. Selanjutnya, dalam Pasal 8 ayat 3 disebutkan bahwa personel untuk setiap pejabat yang menjadi ajudan berjumlah dua orang, sedangkan enam personel sebagai personel pengamanan dan pengawalan. “Kalau ada anggota Polri menjadi pengawal sipil, tentu secara etik dan disiplin tidak diperbolehkan,” ujar Bambang.

Dalam Peraturan Kapolri Nomor 4 itu, kata Bambang, sama sekali tidak diatur tentang bentuk pengawalan atau ajudan terhadap non-pejabat negara. Celah ini yang kerap dijadikan alasan untuk memberikan pengawalan kepada pengusaha atau pihak swasta. Dalam hukum pidana, asas ini dikenal dengan istilah Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu).

Dengan adanya asas tersebut, kata Bambang, apa yang dilakukan dianggap diperbolehkan asalkan sepengetahuan atasan. Persoalannya, saat ini tidak ada lembaga eksternal Polri yang diberi kewenangan kuat oleh negara untuk berdiri sebagai pengawas. “Sehingga Polri bisa membuat aturan dan menafsirkan aturannya sendiri,” ucapnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

IKHSAN RELIUBUN | ANTARA

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus