Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
INFO NASIONAL - Guna mengembangkan olahraga nasional, khususnya sepak bola, diperlukan fondasi kokoh yang dimulai sedini mungkin. Untuk itu, harus dibangun “piramida” yang tersusun dengan rapi, sistematis, serius, dan terukur, serta didukung sumber daya yang mumpuni. Semangat bermain sepak bola harus dikembalikan. Hal itu harus dimulai dari akar, yaitu anak-anak. Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi mengatakan yang menjadi fondasinya adalah pemassalan. “Yang penting anak-anak Indonesia senang terlebih dulu dengan sepak bola, tanpa harus tahu soal regulasi,” ujarnya.
Berbicara sepak bola tidak bisa hanya dari satu sisi. Imam mengatakan, “Membahas sepak bola maka secara otomatis akan berbicara tentang olahraga secara keseluruhan.” Hal tersebut berkaitan dengan metodologi dan kebijakan yang harus disesuaikan dengan model yang dijalankan di Indonesia.
Pemassalan menjadi hal yang fundamental bukan tanpa alasan. Pasalnya, jika dilihat dari jumlah penduduk, Indonesia termasuk negara dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara. Namun hal itu tidak sebanding dengan jumlah pemain yang berada di level elite. Untuk itu, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), bersama PSSI, KONI, sekolah, serta semua Sekolah Sepak Bola (SSB), berusaha semaksimal mungkin kembali menggaungkan semangat bermain sepak bola hingga ke desa. “Kami berusaha mengembalikan semangat bersepak bola, baik itu langsung di masyarakat maupun di pendidikan, bahkan pesantren,” kata Imam.
Selanjutnya, pembibitan dan pembinaan. Setelah mendapat bibit dari pemassalan tersebut, mereka yang lolos harus dibina. Imam mengungkapkan, dengan piramida yang berjalan secara simultan, itu akan mencapai puncak piramida, yaitu prestasi. “Di puncak ini adalah para atlet elite atau timnas,” ucap Imam.
Selain membangun sebuah piramida yang kokoh, Kemenpora mendorong untuk menciptakan sebuah kompetisi yang akuntabel serta memberikan harapan bagi semua yang terlibat di dalamnya. Kemenpora merancang piramida kompetisi baru dengan tiga level kompetisi, yaitu profesional, semi-pro, dan amatir. Liga semi-pro dan amatir dipastikan bisa digunakan untuk pemain muda berkompetisi dengan merancang peraturan pembatasan pemain asing dan kuota minimal pemain muda.
Selain itu, dirancang sistem reward dan punishment bagi klub-klub yang menggunakan atau tidak pemain muda di kompetisi semi-pro dan amatir, juga menguatkan piramida kompetisi dengan aturan yang sesuai. Sebuah kompetisi yang dikelola sumber daya profesional tentunya akan melahirkan atmosfer yang baik pula bagi keseluruhan kompetisi. Seiring dengan hal tersebut, Kemenpora juga menunjukkan peningkatan dalam kinerjanya.
Profesionalitas tersebut bisa terlihat dari permasalahan substansial yang dahulu pernah terjadi, seperti tunggakan gaji pemain kini sudah dapat teratasi. “Sampai sekarang tidak ada satu pun yang lapor ke Kemenpora bahwa gaji ditunda,” ujar Imam. Hal tersebut membuktikan bahwa profesionalisme yang dilakukan oleh klub dan operator sudah mulai berjalan dengan baik.
Imam juga mengatakan ke depan harus diterapkan sport science secara maksimal, yaitu menggabungkan olahraga dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. “Bagaimana merekrut dan mempersiapkan pemain sekaligus ‘memotret’ lawan dengan ilmu pengetahuan,” katanya.
Terkait dengan hal tersebut, Kemenpora telah menyiapkan sebuah tempat yang diberi nama Akademi Olahraga Indonesia. Nantinya, di sana menjadi tempat untuk mempersiapkan para atlet dari 12 cabang olahraga di luar sepak bola yang akan berlaga di Asian Games dan Olimpiade. Di kawasan tersebut akan disediakan semua fasilitas yang dibutuhkan oleh atlet, mulai asrama, tempat berlatih, ahli gizi, ahli psikologi, laboratorium, pusat kesehatan, hingga ahli cuci baju. “Walaupun kawasan tersebut tidak diperuntukkan bagi cabang olahraga sepak bola, tentu pemanfaatannya bisa dirasakan para pemain sepak bola,” tutur Imam.
Selain itu, Kemenpora berencana “menyulap” tempat tersebut menjadi museum hidup. Imam menjelaskan, pemassalan serta pembibitan membutuhkan contoh. Yang akan menjadi contoh adalah para atlet yang akan dan telah membawa harum nama Indonesia di kompetisi internasional. Keberhasilan inilah yang diharapkan menjadi inspirasi sepanjang masa oleh para generasi berikutnya. “Setiap hari akan kami buka, jadi para bibit baru bisa melihat kakak-kakaknya berlatih,” katanya.
Imam berharap, hal itu bisa menyadarkan para “akar rumput” bahwa prestasi tidak bisa diraih secara instan, tapi dibutuhkan latihan dan pengorbanan. Selain itu, dibutuhkan fasilitas yang memadai dari pemerintah. (*)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini