Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
INFO NASIONAL-Belum adanya kebijakan turunan yang secara eksplisit mendukung pelembagaan Klirens Etik ditingkat perguruan tinggi dan lembaga penelitian lainnya memunculkan berbagai polemik. Individu peneliti berpotensi melakukan pelanggaran etika penelitian. Risiko pelanggaran ini semakin tinggi jika subyek penelitian termasuk kelompok rentan, karena identitas gendernya, seksualitasnya, disabilitas yang disandangnya, kesukuan ataukeagamaan minoritasnyaatau identitas rentan lainnya. “
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Perguruan Tinggi memerlukan kebijakan turunan untuk pelembagaan klirens etik dan pengintegrasian perspektif gender equality, disability, and social inclusion (GEDSI) dalam penyusunan protokol, prosedur, dan penegakan klirens etik, “ ujar Dr. Evi Eliyana, Dosen Fakultas Sastra Inggris, Universitas Negeri Malang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Evi memaparkan temuan awal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) dalam webinar “Pengarusutamaan perspektif GEDSI dan Pelembagaan Klirens Etik Penelitian” pada 17 November 2021.
Selama ini peraturan mengenai klirens etik tidak secara eksplisit tertuang dalam UU Nomor 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, ataupun pada pedoman pendanaan penelitian. Peraturan tentang etika penelitian masihberfokus di bidang ilmu kesehatan yang tertuang pada Permenkes No.7 tahun 2016. B
Sejumlah perguruan tinggi di Indonesia sudah memiliki Komite Etik Penelitian dan menyediakan pelayanan uji etik. Namun, kebanyakan masih berfokus pada bidang kesehatan dan psikologi. Padahal, klirensetik juga perlu diterapkan di semua bidang keilmuan, termasuk sosial humaniora.
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada Dr. R. Herlambang P. Wiratraman mengatakan permasalahan lainnya adalah tradisi riset dengan standart etik tinggi masih lemah. Institusi kampus terkesan permisif dan mengabaikan nir-klirens etik, dengan dalih kebutuhan akreditasi. Hal ini berdampak pada kebutuhan pelembagaan Klirens Etik dikesampingkan.
“Praktek penelitian nir -etik, antara lain plagiarism, wawancara palsu, penelitian berbasis pesanan untuk kepentingan pemberi dana (donor driven research), tanpa persetujun subyek (no-informed consent), tidak menghargai privasi, kerahasiaan,dan anomitas, dan penelitian helikopter-dimana peneliti hanya datang untuk mengumpulkan data, tanpa memberikan manfaat bagi masyarakat, “katanya.
Sementara itu,Dr. Santi Kusumaningrum, Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak, Universitas Indonesia (PUSKAPA UI) menambahkan, kecanggihan metodologi harus berdiri di atas kepatutan etika penelitian. Menurutnya metodologi ilmiah mengejar ketepatan dan validitas penelitian, namun asas kepatutan juga harus memperhatikan subyek penelitian. Tak kalah pentingnya juga melindungi kerahasian dan privasi penelitinya.
Santi menuturkan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI telah memiliki komisi etika penelitian, untuk mengembangkan kebijakan dengan dialog dan refleksi penelitian. “Di PUSKAPA UI, kami telah mengeluarkan memo prosedur selama proses pengumpulan data, memo analisis penelitian kualitatif dan terakhir memo refleksi yang ditulis oleh setiap individu peneliti untuk dijadikan masukan penelitian,” ujarnya.
Dia berharap materi etika penelitian ini dapat dijadikan materi khusus bagi mahasiswa S2 dan S3 baik pada matrikulasi maupun metodologi penelitian. Selain itu, ada pembentukan panitia adhoc setiap departemen yang menggelar pertemuan rutin lintas komite. “Apabila diperlukan kita dapat mengundang pakar di luar UI yang memiliki kompetensi sesuai dengan kebutuhan penelitian terkait. “katanya. (*)