Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo

Politik (Bahasa) Deliberatif: Refleksi KBI XII

mengangkat peristiwa Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XII sebagai "ruang dialog penanganan kemajuan bahasa".

30 Oktober 2023 | 14.49 WIB

Politik (Bahasa) Deliberatif: Refleksi KBI XII
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

INFO NASIONAL -

Maryanto

Widyabasa Ahli Madya

Badan Bahasa, Kemendikbudristek

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Berita Antara (Kamis, 26 Oktober 2023) mengangkat peristiwa Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XII sebagai “ruang dialog penanganan kemajuan bahasa”. Tidak hanya bahasa Indonesia yang diberikan ruang partisipasi publik, tetapi juga bahasa daerah dan asing.                                                  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KBI yang digelar pada 25—28 Oktober 2023 tersebut menghasilkan pernyataan sikap politik kebahasaan atas trigatra bangun bahasa: bahasa Indonesia yang diutamakan, bahasa daerah yang dilestarikan, dan bahasa asing yang dikuasai. Ruang kebahasaan yang tampak berpetak-petak ini berada pada satu ceruk besar, yakni literasi, dalam kebinekaan untuk kemajuan bangsa.

Lompatan bahasa Indonesia

Dengan kemampuan melompati ceruk literasi, tentu saja, akan selalu ada harapan dan optimisme Indonesia bersatu, bahagia, dan abadi sebagaimana lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2009. Politik harapan seperti itu tampak terpenuhi dengan gagasan dan gerakan bahasa Indonesia selama 95 tahun terakhir atau sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sebagai peristiwa politik kebahasaan, KBI XII mempertegas peran pentingnya perjuangan bahasa persatuan dengan titik tuju terwujudnya negara kesejahteraan (welfare state) melalui literasi dalam kebinekaan.

Mengapa literasi sebagai lompatan bahasa Indonesia? Serumit apapun urusan negara yang ber-bhinneka ini—sepanjang bahasa persatuannya berfungsi optimal—tetap saja ada jalan damai bagi setiap pemangku urusan dengan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar untuk mengatasi kerumitan konflik-sosial kebangsaan di negara tercinta: Indonesia! Bahasa ini memang dirancang dalam pembentukannya sebagai cara berpikir dan—sekaligus—cara membangun pikiran berkeindonesiaan untuk menyelesaikan persoalan secara kolektif.

Sangat perlu kekuatan literasi untuk mengatasi permasalahan kolektif. Dalam kertas kerja KBI XII, Yudi Latif menyitir pandangan Lerner (1958) dengan menyebutkan bahwa kekuatan literasi secara lebih berdaya menumbuhkan kemampuan empati dan partisipasi. Kemampuan itu disebut lebih awal sebagai kesanggupan untuk memahami dan menempatkan diri dalam situasi orang lain. Kalau setiap orang menempatkan diri menjadi sesama buat yang lain, ruang dialog kebahasaan akan terbuka luar biasa (Sudaryanto, 2014). Literasi demikian akan membudayakan demokrasi yang bersifat deliberasi dengan adanya empati dan partisipasi yang lebih inklusif tersebut.

 

Dua arah kemajuan dunia ilmu

Dunia literasi kebahasaan merupakan dunia penyebaran sumber informasi tertulis atau keberaksaraan. Kemampuan literasi yang diperluas—biasanya melalui distribusi sejumlah buku bacaan—pada satu sisi memajukan atau mendorong apa yang disebut sebagai desentralisasi penguasaan (ilmu) pengetahuan. Sentralisasi ilmu yang terjadi pada dunia bahasa kelisanan terbukti telah membuat dominan sedikit elite secara politik.

Pada sisi lainnya, perluasan literasi sebagaimana dimaksud Yudi Latif “secara perlahan memerosotkan nilai sakral elitisme seraya memperkuat egalitarianisme”. Nilai sosial kebangsawanan yang semula berasaskan kesakralan asal-usul keturunan genetis (‘bangsawan asal’) bertransformasi menjadi bangsawan pikiran. Transformasi nilai sosial-kebahasaan ini—sebagaimana refleksi pernyataan sikap dari peserta KBI XII—telah dirumuskan keberlanjutannya dalam dua arah kemajuan/kemartabatan bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan.

Pertama, arah kemartabatan bahasa Indonesia di ruang dialog khusus dengan pemangku urusan bahasa daerah, terutama dengan para pihak pemerintah daerah.  Kedua, arah kemajuan bahasa Indonesia di ruang deliberasi melalui penguasaan bahasa asing yang pengelolaan efektifnya dimulai dari ruang pembelajaran bahasa pada lembaga pendidikan. Penguasaan bahasa asing itu tentu juga memberdayakan partisipasi publik dalam menginternasionalkan bahasa Indonesia.

Patu dicatat di sini bahwa peserta KBI XII telah menyerukan agar beragam dialog kebahasaan kedepan dibuat semacam program pembangunan partisipatoris yang bersifat prioritas nasional. Sebagaimana isi pernyataan rekomendasi KBI XII, program dimaksud  “harus termaktub dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) pusat dan daerah”.

Sebagai catatan akhir, Darmansjah Djumala—pada sidang kelompok program internasionalisasi bahasa Indonesia—memberikan prasaran penting supaya tidak terjadi “kelalaian” dalam pengelolaan program ke-BIPA-an. Seturut pengalaman empiris dari pemakalah KBI XII tersebut, akibat kelalaian dimaksud sangat fatal. Menurutnya, program bahasa (negara) Indonesia yang telah berhasil itu ternyata bisa “‘dicuri’ negara lain”.

Nah! Tibalah saatnya untuk menempuh jalan politik bahasa secara deliberatif sambil berharap bahwa hasil terbaik dari tindak lanjut KBI XII dapat dipetik nanti pada 2028. Semoga saja. (*)

Prodik Digital

Prodik Digital

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus