Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Duri di Jantung Moskow

Gerakan Alexei Navalny melawan rezim Vladimir Putin mendapat dukungan luas dari masyarakat Rusia. Sejumlah pengusaha dan jutawan menyumbangkan dana. 

13 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Gerakan antikorupsi Alexei Navalny mendapat dukungan luas dari berbagai lapisan masyarakat Rusia.

  • Sejumlah pengusaha dan jutawan memberi dukungan dana dan bersedia dipublikasikan namanya.

  • Salah satu teknik investigasinya adalah dengan membeli saham perusahaan negara.

DARI kursi terdakwa, Alexei Navalny melambaikan tangan kepada istrinya, Yulia, yang duduk di barisan belakang kursi pengunjung di pengadilan Moskow, Rusia, pada Selasa, 2 Februari lalu. “Jangan bersedih! Segalanya akan baik-baik saja,” teriak tokoh oposisi 44 tahun itu seperti dikutip The Guardian. Yulia membalas lambaian suaminya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari itu, hakim menjatuhkan hukuman 2 tahun 8 bulan penjara kepada Navalny karena dia dianggap melanggar syarat hukuman percobaan. Tiga hari kemudian, Jumat, 5 Februari, Navalny kembali diseret ke meja hijau dalam kasus pelecehan terhadap seorang veteran perang. Pada pekan-pekan berikutnya, ia tampaknya masih akan diadili dalam kasus berbeda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Persidangan bergulir setelah di berbagai kota di Rusia pecah unjuk rasa besar yang menuntut pembebasan Navalny, yang ditahan ketika pulang ke Moskow pada awal Februari lalu. OVD-Info, organisasi pemantau hak asasi manusia di Rusia, melaporkan bahwa polisi telah menangkap sekitar 10 ribu demonstran—penahanan terbesar sejak Vladimir Putin menang dalam pemilihan umum pada 2000. Sebagian besar demonstran akhirnya dibebaskan setelah dikenai denda. Sebagian kecil dibui dengan berbagai dakwaan, termasuk melakukan kekerasan terhadap polisi.

Pemerintah Rusia juga mengusir tiga diplomat Jerman, Polandia, dan Swedia yang dituduh terlibat dalam unjuk rasa besar itu. Tiga negara tersebut kemudian membalas dengan mengusir diplomat Rusia dari negara masing-masing. “Mereka dinyatakan sebagai persona non-grata karena melanggar aturan, yakni terlibat aksi demonstrasi di Moskow,” kata Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva, menjawab pertanyaan Gabriel Wahyu Titiyoga dari Tempo dalam konferensi pers di Jakarta pada Rabu, 10 Februari lalu.

Alexei Navalny, politikus dan blogger antikorupsi tersohor Rusia, ditahan begitu pulang dari Jerman, tempat dia dirawat setelah diracuni di Siberia. Dari balik jeruji, Navalny merilis hasil investigasi Yayasan Antikorupsi Rusia (FBK) yang dipimpinnya mengenai istana Putin. Dalam laporan dan video bertajuk “Istana Putin: Sejarah Suap Terbesar di Dunia” itu, ia menggambarkan sebuah istana megah senilai hampir Rp 19 triliun telah berdiri di dekat Kota Gelendzhik di tepi Laut Hitam. Luas properti pribadi termewah di Rusia itu mencapai 68 hektare, hampir seluas Taman Monumen Nasional di Jakarta. Bangunan itu dilengkapi kebun anggur, gereja, kasino, arena hoki bawah tanah, dan sikat toilet seharga Rp 11 juta per biji.

Tokoh oposisi Rusia, Alexei Navalny saat mengikuti persidangan di Moskow, Rusia, 2 Februari 2021. Reuters/SIMONOVSKY DISTRICT COURT

Menurut Navalny, duit untuk membangun istana itu berasal dari hasil korupsi yang dilakukan kaki tangan Putin. Salah satu sumbernya adalah Sergei Kolesnikov, orang dekat Putin yang berbalik menjadi peniup peluit. Kolesnikov bertugas membangun properti tersebut pada 2005 dan kabur dari Rusia setelah menulis surat terbuka yang meminta Dmitry Medvedev, Presiden Rusia saat itu, mengakhiri korupsi Putin.

Putin membantah klaim Navalny. “Tidak ada yang terdaftar di sana yang pernah menjadi milik saya atau kerabat dekat saya,” ujarnya pada akhir Januari lalu. Arkady Rotenberg, oligark Rusia yang dekat dengan Putin, kemudian mengklaim bahwa bangunan itu miliknya dan hendak dijadikan hotel.

Gerakan antikorupsi Navalny bermula pada 2008. Saat itu ia masih bergerak sendirian. Taktiknya adalah menjadi pemilik saham minoritas di sejumlah perusahaan milik negara sehingga dapat mengakses laporan keuangannya. Dari sanalah dia menemukan berbagai kejanggalan di perusahaan dan mempublikasikannya di LiveJournal, blog terpopuler di negeri itu. Navalny, misalnya, membongkar dugaan penggelapan dana senilai US$ 150 juta oleh pejabat anak perusahaan VTB, bank pelat merah yang disubsidi pemerintah, dan penyelewengan dana senilai US$ 4 miliar di perusahaan minyak negara Transneft. Garry Kasparov, mantan juara dunia catur yang bergabung dengan kelompok oposisi, turut mendukungnya.

Popularitasnya melesat ketika pecah unjuk rasa besar pada Desember 2011 yang memprotes dugaan kecurangan dalam pemilihan umum anggota parlemen yang dimenangi Partai Rusia Bersatu pimpinan Putin. Navalny menggalang massa melalui blognya dan VKontakte, media sosial milik Pavel Durov, pendiri Telegram. Durov melindungi Navalny dengan menolak permintaan badan intelijen Rusia (FSB) memblokir grup percakapan Navalny di VKontakte.

Sejumlah blogger, pengarang, jurnalis, dan aktivis mulai masuk ke jaringan gerakan perlawanan ini, seperti Boris Akunin, pengarang novel serial populer; dan Olga Romanova, bekas presenter televisi. Romanova menggalang dana aksi melalui Yandex Money, layanan pembayaran daring terbesar di dunia, dan menghimpun lebih dari 4 juta rubel atau sekitar Rp 758 juta untuk mendanai demonstrasi pada Mei 2012 di Bolotnaya, Moskow. Ini unjuk rasa terbesar sejak Putin berkuasa.

Navalny berkali-kali dipenjara dalam berbagai kasus, yang diduga hanya menjadi cara untuk membungkamnya. Tekanan terhadapnya juga berlangsung di dunia siber. Blognya di LiveJournal, juga sejumlah situs gerakan lain, misalnya, pernah diblokir pemerintah pada Maret 2014. Menurut Andrei Soldatov dan Irina Borogan dalam The Red Web: The Struggle between Russia’s Digital Dictators and the New Online Revolutionaries (2015), otak di balik pemblokiran adalah Andrei Lugovoi, bekas agen KGB yang terlibat dalam peracunan Alexander Litvinenko, eks agen FSB.

Ruslan Leviev, aktivis muda dan penggemar komputer, menjadi salah satu relawan di tim Navalny. Dia meminta bantuan komunitas Internet dan mendapat respons dari sekitar 60 relawan. Dengan dukungan mereka, Leviev membuat domain navalny.us dan banyak subdomain yang mengantar ke blog Navalny. Di situs itu terdapat tombol merah yang dapat diklik dan mengarah ke salah satu subdomain secara acak. Dengan cara itu, ia mengakali sistem pemblokiran pemerintah dan bahkan membuat sistem tersebut memblokir situs pemblokiran pemerintah sendiri.

Untuk meneruskan investigasinya, Navalny mendirikan FBK pada 2011. Yayasan ini menggalang dana masyarakat melalui Yandex Money dan sejumlah donor. Pada awal pendirian, mereka dapat menghimpun dana sebesar 23 juta rubel atau sekitar Rp 4,3 miliar. Laporan keuangan mereka pada 2019 menunjukkan pada tahun itu dana yang didapatkan sebesar Rp 16,8 miliar. Mereka merilis laporan keuangan dan hasil investigasi secara terbuka di situs Navalny.

Menurut The Moscow Times dan Reuters, FBK telah mengumumkan daftar beberapa penyumbang terbesar mereka, seperti pengusaha Boris Zimin, putra Dmitry Zimin, pendiri perusahaan telekomunikasi Rusia, PJSC VimpelCom; dan Vladimir Ashurkov, mantan manajer Alfa Group, perusahaan investasi terbesar Rusia. Ada pula Roman Borisovich, Wakil Presiden Rosgosstrakh, perusahaan asuransi terbesar di Negeri Beruang Merah; Alexei Savchenko, Direktur Perencanaan Alfa Group; Alexander Lebedev, jutawan pemilik surat kabar Novaya Gazeta serta dua media Inggris, Evening Standard dan The Independent; dan Sergei Filonov, Presiden Aviamarket yang berbisnis helikopter.

Vladimir Ashurkov, bekas pejabat Alfa Group, didapuk menjadi Direktur Eksekutif FBK. Menurut Ashurkov, sebagian donatur itu menekankan bahwa dukungan mereka tidak didasari motif politik. Namun pengungkapan nama mereka adalah terobosan besar karena selama ini tak ada pengusaha yang berani secara terbuka menyatakan dukungan kepada lawan politik Vladimir Putin. Dalam banyak kasus, pengusaha yang mendukung oposisi akan berakhir di penjara atau terpaksa kabur ke luar negeri.

Meskipun Navalny kini dibui, gerakan antikorupsinya terus dijalankan oleh timnya yang tersebar di berbagai negara. “Kami sudah siap untuk ini,” ujar Ivan Zhdanov, Direktur FBK, kepada RFE/RL. Menurut dia, jaringan Navalny telah bekerja tanpa panduan Navalny sejak Agustus tahun lalu, ketika Navalny diracuni. “Tim Navalny dan FBK paham apa yang harus dilakukan sekarang. Kami paham bahwa segalanya baru awal. Kami paham apa tugas kami,” kata Leonid Volkov, direktur jaringan kantor regional Navalny.

IWAN KURNIAWAN (THE GUARDIAN, THE MOSCOW TIMES, REUTERS, RFE/RL)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus