Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bom Gagal Analis Keuangan

Tersangka percobaan peledakan Times Square, New York, ditangkap. Pernah dilatih membuat bom di Pakistan.

10 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMUDA itu membeli tiket pesawat dengan uang tunai. Dari Bandar Udara John F. Kennedy, New York, ia hendak terbang ke Dubai menumpang pesawat Emirates, Selasa malam pekan lalu. Pesawat dengan nomor penerbangan 202 itu bertujuan akhir Islamabad, Pakistan.

Setelah memegang tiket, Faisal Shahzad, 31 tahun, melenggang ke ruang tunggu penumpang tanpa terganjal pemeriksaan. Namun, sesaat sebelum dia masuk pesawat, tiba-tiba rombongan polisi federal muncul dan menangkap pemuda asal Pakistan itu.

Penangkapan Faisal terjadi 53 jam 20 menit setelah percobaan peledakan di Times Square, New York, Ahad dua pekan lalu. Faisal menjadi tersangka utama pelaku bom gagal itu. ”Ia ingin membunuh orang Amerika di tempat paling sibuk di negeri ini,” kata Jaksa Agung Amerika Eric Holder.

Faisal merupakan pemilik mobil Nissan Pathfinder 1993 biru gelap yang diparkir di Astor Plaza, kawasan Times Square, pada pukul 18.28. Dua pegawai di toko pakaian melihat mobil itu mengeluarkan asap dan segera memberi tahu polisi. Dalam bagasi ditemukan bom yang sudah diaktifkan tapi gagal meledak.

Mobil sport serbaguna itu dirancang menjadi tangki siap ledak. Di dalamnya terdapat dua jam alarm dengan baterai sebagai pemicu bom. Ada dua galon bensin, tiga galon propana, serta kotak metal yang terhubung ke jam alarm.

Faisal membeli mobil itu dua pekan sebelum kejadian seharga US$ 1.300. Ia menghapus nomor identifikasi kendaraan di dashboard untuk menghilangkan jejak. Identitas Faisal terlacak dari nomor identifikasi kendaraan di mesin bawah mobil.

Polisi federal memasukkan Faisal ke daftar larangan terbang sehari setelah bom mobil itu ditemukan. Tapi Faisal bisa membeli tiket seharga US$ 700 dan hampir saja terbang ke Dubai. Ia lolos dari pemeriksaan data penumpang di bandar udara yang dikenal ketat itu. Belakangan polisi berkilah sengaja membiarkan Faisal berlalu untuk mengetahui apakah dia bekerja dengan orang lain.

Pembelian tiket tunai, apalagi dalam waktu mepet seperti Faisal, memang relatif lebih mudah untuk menghindari pemeriksaan ”daftar hitam” penumpang. Faisal terhindar dari tanda merah di layar petugas pemeriksa bandar udara. Tanda merah menunjukkan larangan terbang karena calon penumpang terkait dengan terorisme dan kejahatan lain.

Daftar larangan terbang di bandar udara itu diperbarui setiap 24 jam. Kejadian hampir lolosnya Faisal itu membuat Amerika kian memperketat pengamanan bandar udara. Kamis pekan lalu, pemerintah meminta petugas bandar udara melakukan pengecekan dan memperbarui data elektronik larangan terbang setiap dua jam.

Faisal ditangkap dengan tuduhan terorisme, seperti percobaan pembunuhan massal, peledakan gedung, pemakaian senjata, serta pemakaian dan pemilikan bahan peledak. Sumber kepolisian menyebutkan Faisal beraksi sendirian, tapi polisi masih memeriksa keterkaitannya dengan jaringan teror internasional seperti Al-Qaidah dan Taliban.

Selama pemeriksaan, polisi membacakan hak Faisal sebagai tersangka: ia berhak menolak memberikan keterangan dan bisa meminta pengacara—sesuatu yang diatur dalam Hukum Miranda. Pemberian hak itu sempat dikecam berbagai kalangan. Sejumlah anggota parlemen menganggap hak itu tak berlaku bagi tersangka terorisme.

Jaksa Agung Holder mengatakan Faisal sangat kooperatif dan memberikan banyak informasi kepada polisi. Dibacakannya hukum Miranda tak menyulitkan proses pemeriksaan. Holder yakin Faisal memberikan banyak informasi mengenai kemungkinan jaringan internasional terlibat dalam rencana teror itu.

Lahir di Kota Pabbi, barat laut Islamabad, pada Juni 1979, Faisal adalah anak bekas kepala otorita penerbangan sipil Pakistan, Baharul Haq. Dia pergi ke Amerika Serikat pada 1998 untuk meneruskan studi. Lulus dari Universitas Bridgeport Connecticut bidang ilmu komputer pada 2000, lima tahun kemudian ia mendapat gelar master administrasi bisnis di universitas yang sama.

Faisal lalu bekerja di perusahaan pemasaran dan konsultasi bisnis, Affinion Group, Connecticut, sebagai analis keuangan. Dia mengundurkan diri dari perusahaan pada Juni 2009 dan kembali ke Pakistan untuk menengok keluarga di kampung halaman. Namun, dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa Faisal ternyata mengikuti pelatihan militer.

Faisal mendapat green card alias izin menetap di Amerika pada Januari 2006. Ia menikah dengan Huma Asif, warga negara Amerika, pada Oktober 2008, dan mempunyai dua anak. Faisal menjadi warga negara Amerika pada April 2009. Di Amerika, Faisal pernah tinggal di rumah berlantai dua bergaya kolonial seharga US$ 273 ribu. Rumah itu disita tahun lalu karena Faisal terlilit utang bank.

Benih kebencian Faisal kepada Amerika muncul ketika negara itu melancarkan kampanye perang antiteror sembilan tahun silam. Sasaran kampanye global itu memusnahkan jaringan Al-Qaidah dan Taliban, yang diyakini sebagai pelaku serangan 11 September 2001 yang merobohkan menara kembar World Trade Center.

Sumber yang mengetahui proses interogasi mengatakan kekesalan Faisal memuncak tahun ini karena perang Irak dan Afganistan yang memakan banyak korban muslim. Faisal menganggap Amerika sebagai musuh utama.

Dalam pemeriksaan, Faisal disebut-sebut pernah mengikuti pelatihan militer serta membuat bom di Waziristan, basis kelompok Taliban dan Al-Qaidah di Pakistan. Juru bicara Taliban, Azam Tariq, menyebut rencana Faisal sebagai pekerjaan mulia. ”Saya berharap semua remaja muslim mengikutinya,” ujarnya. Azam menegaskan, ”Faisal tak terkait dengan Taliban.”

Azam mengaku tak mengenal Faisal dan tak pernah memberikan pelatihan militer kepadanya. Pernyataan Azam itu berbeda dengan video yang menyebutkan Taliban berada di belakang rencana peledakan di pusat Kota New York itu. Dengan wajah tertutup, orang yang mengaku anggota Taliban menyampaikan rencana meledakkan Times Square sebagai aksi balas dendam atas terbunuhnya pemimpin Taliban, Baitullah Mehsud, serta dua pemimpin Al-Qaidah di Irak, Abu Omar al-Baghdadi dan Abu Ayyub al-Masri.

Dalam pemeriksaan, Faisal menyebutkan aksinya terilhami oleh khotbah serta tulisan Anwar al-Awlaki, ulama asal Yaman. Dengan kemampuan bahasa Inggrisnya yang bagus, Awlaki menyebarkan semangat jihad memerangi Amerika Serikat.

Yandi M.R. (CBS, Aljazeera, NYT)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus