Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangan gelombang kedua pada Kamis malam pekan silam itu tak hanya menyentuh Baghdad, tapi juga Basra dan Tikrit. Hasilnya, 25 penduduk sipil tewas dan 75 luka-luka. Rupanya, serbuan itu tak hanya menghantam sasaran militer Irak, tapi juga meratakan pemukiman penduduk. Presiden AS Bill Clinton tampak tak terganggu dengan jatuhnya korban penduduk sipil dan kecaman masyarakat dunia. Rusia bahkan menarik duta besarnya dari Washington. Tapi Clinton masih melanjutkan serangan Jumat malam, menjelang umat muslim sedunia menyambut Ramadan.
Clinton justru menyalahkan Irak karena untuk kesekian kalinya Baghdad menolak bekerja sama dengan komisi khusus PBB, UNSCOM, yang memeriksa senjata pemusnah milik Irak. "Saddam Hussein dan musuh perdamaian lainnya berpikir bahwa debat serius yang terjadi sekarang di Majelis Rendah akan mengalihkan Amerika atau melemahkan upaya menjatuhkan mereka. Mereka salah," ujar Clinton. Ia tak lupa menambahkan alasan klise penyerbuan terhadap Irak adalah untuk melindungi "kepentingan vital" Amerika dan sahabat Amerika di Timur Tengah. Tapi kalangan Republik mencurigai motif penyerbuan itu karena bersamaan waktunya dengan perdebatan impeachment di Majelis Rendah. Mereka menuduh Clinton memanipulasi alasan "kepentingan vital"Amerika.
Maklum, dalam beberapa bulan terakhir ini posisi Clinton bak telur di ujung tanduk. Ia akan didepak dari Gedung Putih lewat serangan impeachment, karena ia berdusta dalam skandal seks dengan Monica Lewinsky (baca boks: "Empat Dosa Clinton"). Pada saat yang sama hampir seluruh dunia mencaci-maki Clinton karena serbuan mendadak militer Amerika ke Irak, yang dimulai Rabu pekan lalu dengan nama sandi Operasi Rubah Gurun.
Sementara itu, pertempuran di Majelis Rendah tak kalah serunya dengan hujan rudal di Baghdad. Sebagian dari anggota kubu Demokrat mati-matian berjuang menyelamatkan Clinton dari serbuan impeachment yang dilancarkan kubu Republik, yang dimulai Jumat pekan lalu. Pendukung Clinton tak mau begitu saja menyaksikan Clinton terdepak dari Gedung Putih. Persis seperti serbuan Clinton terhadap Irak, kelompok lobi liberal Rakyat untuk Gaya Amerika (People for American Way) membombardir saluran telepon bebas pulsa di Capitol Hill, gedung Kongres Amerika, dengan opini anti-impeachment. Menurut Carol Shields, pemimpin kelompok ini, mereka menghujani 174 ribu sambungan telepon bebas pulsa selama enam hari ke Capitol Hill. Bahkan pada Senin pekan lalu saja serbuan itu mencapai 130 ribu sambungan telepon.
Volume sambungan telepon di gedung Capitol Hill memang membengkak dua kali lipat dari kondisi normal, menjadi lebih dari 14 ribu sambungan setiap hari. "Setiap saat kami menutup telepon, langsung telepon berdering lagi," ujar Leslie Belcher, juru bicara Senator Republik Wes Watkins. Anggota Kongres pun mengeluh karena mesin penjawab telepon mereka penuh dengan pesan penentang impeachment. John Ensign, anggota Kongres dari Partai Republik, dengan jengkel terpaksa menutup kantornya dan meninggalkan pesan ketus di mesin penjawab: "Jika Anda ingin meninggalkan opini untuk anggota Kongres tentang dengar pendapat impeachment, silakan tekan angka 2. Tapi ia tak akan membalas opini Anda".
Kelompok anti-impeachment juga menyerbu kotak surat elektronik gedung Capitol. Biasanya mereka hanya menerima sekitar 80 ribu pesan dan kini meledak menjadi 1 juta pesan. Tak jelas betul apakah serbuan telepon dan surat elektronik itu adalah opini rakyat Amerika yang murni atau hanya upaya manipulasi opini dari kelompok anti-impeachment. Tapi sejumlah jajak pendapat yang dilakukan media massa telah menunjukkan sikap rakyat Amerika yang menentang upaya impeachment terhadap Clinton. Kelompok masyarakat yang diuntungkan oleh kebijakan Clinton segera menggelar kampanye, dari aktivis perempuan hingga artis Hollywood. Mereka juga mengeluarkan anggaran setinggi US$ 70 ribu untuk kampanye radio dalam rangka mempengaruhi anggota Kongres yang belum bersikap. Selain itu Gedung Putih berusaha melobi anggota moderat Partai Republik untuk menolak impeachment.
Sebaliknya kelompok pendukung impeachment tak tinggal diam. Koalisi Kristen yang berpengaruh memobilisasi pasukannya, berusaha menggoyang anggota Kongres yang belum bersikap. Mereka berkampanye soal pro-impeachment di sepanjang akhir pekan lewat siaran televisi.
Namun langkah Clinton memang cukup ampuh. Jaringan televisi Amerika secepat kilat mengalihkan lensa kameranya dari heboh soal impeachment ke kawasan Teluk, yang memang dianggap lebih panas. Sejumlah jajak pendapat pun berpihak ke aksi Clinton. Tak ayal, serbuan Clinton ke Irak membuat kubu Republik kikuk. Maklum, selama ini, bekas presiden dari Partai Republik, Ronald Reagan dan George Bush, dikenal paling getol menjalankan politik "polisi dunia". Bush bersama sekutunya menggelar Operasi Badai Gurun untuk mengusir Irak dari Kuwait pada 1991. Umpan Clinton sempat termakan oleh kubu Republik, yang kemudian dengan enggan menunda kelanjutan proses impeachment.
Tak jelas apakah keputusan Clinton yang tiba-tiba menyerbu Irak adalah sebuah taktik tarik-ulur dari serangan impeachment Partai Republik, atau cermin sikap frustrasi Clinton yang terancam terdepak dari Gedung Putih. Yang jelas, sebelumnya Clinton pernah melakukan cara yang sama ketika ia tersudut saat juri agung mendengarkan pengakuan Monica Lewinsky pada Agustus lalu. Sebagai panglima angkatan bersenjata tertinggi, Clinton memerintahkan militer membombardir tempat yang diduga sebagai sarang teroris di Afganistan dan Sudan.
Meski opini khalayak mendukung Clinton, perkembangan sikap anggota Majelis Rendah dari hari ke hari semakin membahayakan posisi Clinton. Sebuah survei per telepon yang dilakukan oleh Associated Press terhadap 435 anggota Majelis Rendah menyebutkan, 219 orang akan mendukung impeachment, 201 orang akan menentang. Angka ini terus berubah dan jumlah anggota Majelis Rendah yang memutuskan pro-impeachment pekan ini cenderung lebih unggul.
R. Fadjri/Sumber: Associated Press
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo