Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
McDonald’s dan Starbucks menghadapi boikot karena dianggap memihak Israel.
Boikot punya sejarah panjang dalam berbagai peristiwa di dunia.
Boikot berhasil meningkatkan kesadaran publik ihwal perilaku Israel terhadap Palestina.
McDonald’s dan Starbucks termasuk daftar perusahaan Barat yang menghadapi aksi boikot akibat konflik di Gaza. McDonald’s, misalnya, dibanjiri kecaman setelah waralabanya di Israel kedapatan membagikan ribuan porsi makanan gratis untuk Pasukan Pertahanan Israel (IDF).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serupa, Starbucks menghadapi seruan boikot setelah menunjukkan ketidaksepakatannya terhadap unggahan serikat buruhnya sendiri di platform X (sebelumnya Twitter) yang menyatakan solidaritas untuk Palestina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam kedua kasus itu, para pelanggan menunjukkan kecaman dengan turun ke jalan. Hal ini terjadi terutama di negara-negara seperti Libanon, Arab Saudi, Maroko, Turki, Yordania, dan Malaysia—meskipun waralaba terkait menunjukkan loyalitasnya kepada komunitas lokal. Tak hanya itu, ada juga serangan terhadap outlet kedua perusahaan itu di Inggris.
Banyak perusahaan asal Amerika yang menjadi sasaran boikot, yang dalam beberapa kasus murni hanya karena dukungan pemerintah terhadap Israel. Beberapa perusahaan itu adalah KFC, Pizza Hut, dan Burger King, serta merek-merek seperti Coca-Cola, Pepsi, Wix, dan Puma.
Google dan Amazon pun menghadapi seruan boikot karena menawarkan jasanya kepada pemerintah serta militer Israel untuk mempertahankan apa yang banyak dianggap sebagai tindakan apartheid (kebijakan yang rasis) terhadap warga Palestina.
Sementara itu, perusahaan retail asal Inggris, Marks & Spencer, menemui seruan serupa setelah menayangkan iklan Natal yang menampilkan topi kertas warna-warni yang mirip bendera Palestina dilempar ke api. Iklan yang diunggah di Instagram tersebut kini telah ditarik. Situasi makin buruk setelah para pengkritik Israel menelusuri bahwa sebagian perusahaan tersebut memiliki akar Yahudi.
Merek-merek lain yang memiliki akar Yahudi pun menjadi sasaran, termasuk Danone, Starbucks, Dunkin' Donuts, dan Netflix. Daftar produk yang didirikan oleh para pebisnis Yahudi pun turut dibagikan di platform TikTok dan Facebook.
Boikot yang berkaitan dengan Timur Tengah memiliki sejarah panjang. Dua puluh tahun lalu, merek-merek Amerika diturunkan dari rak-rak penjualan di Arab pascaserangan ke Irak. Coca-Cola diboikot oleh Liga Arab selama 1968-1991 karena berdagang dengan Israel. Kadang, aktivismenya muncul dari sisi bisnis, seperti keputusan Ben and Jerry’s, Orange, dan SodaStream untuk menarik produknya dari pemukiman ilegal Israel.
Secara luas, boikot terjadi karena berbagai hal, dari Perang Ukraina hingga gerakan “woke”. Logikanya cukup sederhana: pemerintah negara tentunya akan mau mendengarkan ketika Anda melukai profit perusahaan. Pertanyaannya, dalam situasi apa aksi boikot ini efektif?
Aksi mendukung Palestina terbebas dari penjajahan yang dilakukan Israel di Casablanca, Maroko, 26 November 2023. Reuters/Milla Morisson/Hans Lucas.
Studi kasus 1: Kartun Denmark
Pada 2005, koran asal Denmark, Jyllands-Posten, membuat berang banyak muslim karena menerbitkan kartun satire Nabi Muhammad. Sebagian besar amarah ditujukan kepada pemerintah Denmark karena menolak mengambil tindakan, dan Arla, perusahaan makanan asal Denmark dan Swedia, menjadi sasaran boikot. Setelah 40 tahun membangun bisnisnya di Timur Tengah, perusahaan tersebut terpaksa menderita kerugian finansial dan kehilangan reputasi.
Arla terjebak situasi yang sangat sulit untuk bisa menjauhkan diri dari perdebatan yang tengah terjadi dan mesti menghadapi kritik para politikus karena tak menyatakan dukungan terhadap kebebasan berbicara di Denmark secara eksplisit. Meski begitu, butuh waktu dua tahun bagi perusahaan untuk membangun kembali bisnisnya di Timur Tengah.
Perekonomian Denmark tak terpengaruh oleh berbagai aksi boikot yang terjadi, walaupun koran yang menerbitkan kartun tersebut akhirnya menerbitkan permohonan maaf bagi umat Islam empat bulan setelah keributan tersebut terjadi.
Studi kasus 2: Perang Ukraina
Baik konsumen maupun perusahaan Barat memboikot Rusia dan Belarus seusai serangan ke Ukraina pada 2022. Beberapa perusahaan yang keluar atau menghentikan sementara operasinya adalah McDonald’s, Starbucks, Coca-Cola, Nike, Apple, BP, dan Shell. Aksi tersebut berhasil mengguncang perekonomian Rusia, tapi tak membuat negara itu mengurungkan invasi tersebut.
Tentu saja banyak dari perusahaan-perusahaan itu kini menjadi sasaran boikot karena Israel. Amerika Serikat langsung dihujani kritik pada minggu-minggu awal terjadinya serangan di Gaza karena mendorong boikot terhadap Rusia, tapi menolak mengambil langkah serupa terhadap Israel.
Faktanya, terdapat hukum yang mencegah kota-kota di AS memboikot Israel, yang diberlakukan oleh Mahkamah Agung AS pada awal tahun ini. Ada rencana untuk memperkenalkan aturan yang sama di Inggris dan para penentangnya khawatir hal ini akan menyulitkan upaya boikot terhadap negara-negara seperti Rusia di masa depan.
Studi kasus 3: Anti-wokeism
Pada 2015, Starbucks memulai sebuah diskusi dan upaya nasional mengenai hubungan antar-ras dan bagaimana menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda ini. Hal ini memantik banyak kritik di jagat maya karena dianggap sebagai aksi untuk menarik keuntungan bagi perusahaan. Banyak orang berkomentar bahwa staf waralaba tersebut bahkan tidak terlalu beragam secara etnis.
Hal ini menjadi bumerang pada 2018 setelah terjadi insiden di sebuah gerai di Philadelphia. Ketika itu seorang staf melaporkan dua laki-laki kulit hitam dan membuat keduanya ditangkap setelah mereka menolak membuat pesanan dan meninggalkan gerai karena tengah menunggu seseorang. Rekaman video yang beredar di media sosial semakin memperburuk situasi tersebut.
Banyak orang menganggap tindakan staf tersebut berbau rasisme dan akhirnya menyerukan boikot. Hal itu membuat Starbucks meminta maaf secara publik dan berjanji akan melatih karyawannya tentang bias ras yang tak disadari.
Lebih baru lagi, merek alkohol Bud Light harus berhadapan dengan aksi boikot yang dilancarkan kelompok konservatif selama dua minggu setelah perusahaan itu menayangkan kampanye “woke” daring di akun Instagram mereka. Iklan yang mempromosikan salah satu ukuran minuman kaleng besar mereka itu memuat aktivis transgender, Dylan Mulvaney.
Akibatnya, penjualan Bud Light tersungkur hingga 25 persen dan mereka kehilangan posisinya sebagai merek bir paling laris di AS. Hal ini mendorong InBrev, perusahaan pemilik Bud Light, mencoba memperbaiki kerusakan reputasi mereka dengan membuat pernyataan bahwa mereka akan menghindari topik-topik kontroversial ke depannya.
Namun kejadian semacam ini tak menciutkan perusahaan-perusahaan seperti Nike, Target, dan Disney untuk mengadopsi strategi pro-transgender/LGBTQ sejenis.
Aksi menyerukan boikot terhadap merek-merek yang mendukung Israel di depan gerai McDonalds, Casablanca, Maroko, 26 November 2023. Reuters/Milla Morisson/Hans Lucas.
Apa Artinya Ini terhadap Boikot Anti-Israel
Melihat pengalaman Denmark dan Rusia, boikot terhadap perusahaan tampaknya memiliki pengaruh yang minim terhadap perekonomian negara yang disasar. Apa yang terjadi di Rusia menunjukkan aksi boikot lebih mungkin sukses jika menjadi bagian dari sanksi terkoordinasi. Meskipun dalam kasus ini boikot belum sepenuhnya efektif mengurungkan bisnis-bisnis di Eropa dan negara-negara ketiga untuk mencari jalan mengakali pemblokiran.
Solusi terbaik adalah komunitas internasional menerapkan sistem yang “menghukum” tindakan-tindakan tersebut, yang belum ada pada kasus Rusia. Dengan absennya sanksi terkoordinasi terhadap Israel, media sosial mungkin menjadi satu-satunya cara menekan perusahaan dan pemerintah untuk membuat perubahan.
Merek-merek Barat sangat diam terhadap krisis kemanusiaan di Gaza (dan Ukraina), kontras dengan kesediaan mereka untuk mengambil risiko mendukung antirasisme dan LGBTQ+.
Banyak orang kecewa atas hal ini, walau tentu saja Starbucks dan Bud Light menjadi contoh bagaimana perusahaan bisa tersandung masalah jika posisi mereka dinilai tak autentik atau “woke-washing” (berusaha menghasilkan profit dari aktivisme woke). Perusahaan yang berdagang di Israel atau yang pemerintah negara asalnya mendukung pihak penyerang bisa dengan mudah jatuh ke kategori ini.
Kesimpulannya, boikot terhadap perusahaan-perusahaan AS berhasil meningkatkan kesadaran publik ihwal perilaku Israel terhadap Palestina, tapi dampak ekonominya mungkin tak akan besar.
Dampak nyata mungkin muncul jika komunitas internasional mau mendorong aksi korporasi melawan Israel seperti yang terjadi di Rusia. Namun sejauh ini belum terlihat tanda-tanda bahwa hal tersebut akan terjadi. (*)
--------
Artikel ini ditulis oleh Aisha Ijaz, lecturer in Marketing, Edge Hill University, yang terbit di The Conversation.