Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INI terjadi Kamis pekan lalu, di tangga Wisma Tamu Malacanang yang tak terlalu lebar, ketika Arroyo bersilat lidah dengan sejumlah wartawan. Dia senang permainan ini, dan dia senang memainkannya dengan bijak, seperti biasa. Tapi padanya tampak ada yang lain dari biasa. Arroyo, 61 tahun, kelihatan lebih tua dan kesepian. Lebih dari itu, ada kesan keterpencilan, kesendirian. Ia baru bicara keras di DPR -- dan beberapa korban jatuh. Sekarang justru Arroyo sendiri yang terancam, sesudah para menteri mengundurkan diri secara masal Rabu lalu. Berperawakan sedang dengan rambut mulai memutih di kepala, Arroyo sepintas tidak mengesankan watak seorang algojo. Dalam situasi normal, ia bertutur secara halus. Namun, orang di Manila tahu bahwa jika berdiri di mimbar, ArrGyo bisa sangat garang. Dialah embela hak-hak asasi yang terbilang tangguh di zaman kediktatoran Marcos. Dan sikapnya sebagai advokat, sebagai pembela, seperti melekat. Arroyo, yang sering dituduh berhaluan kiri, memang tak menolak untuk bertindak sebagai pembela bagi orang-orang komunis di masa Marcos. Tapi benarkah dia tergolong merah seperti banyak dituduhkan orang? Ketika pertanyaan seperti itu diajukan wartawan Asiaqeeek Antonio Lopez kepada Arroyo, jawabnya singkat. "Itu bohong besar. Anda toh kenal saya." Walau demikian, tuduhan "kiri" itu tetap saja lengket. Dia memang, seperti banyak orang kiri atau "progresif" di Filipina waktu itu, penentang UU Keadaan Darurat ciptaan Marcos dan karena itu sempat dijebloskan ke penjara. Dia pernah satu sel dengan Aquino, mendiang suami sang presiden sekarang. Selama bertahun-tahun membagi kepahitan, tak heran kalau ia kemudian tampil sebagai orang kepercayaan Cory. Tapi justru dalam posisi itu, selama jadi sekretaris eksekutif presiden, Arroyo menghimpun "musuh" begitu banyak. Pada umumnya ia dituduh memborong pekerjaan, tak efisien, sampai 400 ketetapan pemerintah tertunda pelaksanaannya. Arroyo, yang menghimpun wewenang begitu besar, juga dituduh tak mampu membina kerja sama dengan para menteri bidang Ekuin. Kebiasaan Arroyo mempersalahkan orang -- seaakan-akan dia makhluk paling benar di dunia -- memang meletupkan banyak sengketa. Lidahnya tajam dan sikap antimiliternya terlalu kentara. Ketika ditanya pendapatnya tentang suara militer yang cenderung menolak konstitusi -- dalam referendum Februari 1987 -- Arroyo menyimpulkan bahwa kelompok baju hijau tidak seirama dengan suara rakyat. Dalam gaya yang tak kurang keras, di depan DPR Selasa pekan lalu, ia menggebrak segelintir pengusaha sebagai pengkhianat. Menurut Arroyo, mereka mencoba menggoyahkan pemerintah hanya karena mereka tidak bisa melangkahi sekrearis eksekutif. Tak dapat dihindarkan adanya kesan pongah. Agaknya, ia lupa mimbar itu mimbar politik, bukan mimbar pengadilan. Dan Arroyo tetaplah seorang pengacara, bukan politikus. Dalam kata lain, pemahamannya tentang peta politik Filipina perlu dipertanyakan. Tapi Cory, sebegitu jauh, tak meragukan kebolehan Arroyo. Berita terakhir dari Manila mengabarkan, kendati Arroyo ikut mengajukan surat pengunduran diri, kecil kemungkinan itu akan dikabulkan Cory. Rupanya, dalam upaya membangun demokrasi, menurut idenya, tak ada pendamping yang lebih berpotensi kecuali Arroyo. Mengapa? Mungkin karena kesamaan pandangan. Mungkin juga karena Cory dan Arroyo sama-sama tak punya ambisi politik. Jika dia gagal, Cory akan kembali sebagai ibu rumah tangga dan Arroyo akan kembali buka praktek sebagai pengacara. "Saya tidak berpikir dalam rumus-rumus politik," kata Arroyo. Dan ketika ditanya tentang pidatonya yang bersejarah di depan DPR Selasa itu, Arroyo menjawab, "Saya tidak menyesal."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo