Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanpa hambatan lumpur dan cuaca, di bawah langit bulan Juli yang terang-benderang, truk-truk itu toh hanya sanggup merambat pelan: lima kilometer per jam. Padahal kendaraan ini tengah dinantikan ribuan penduduk yang nyaris mati kelaparan di Darfur, ujung barat Sudan yang bergolak. Mengangkut air bersih, makanan, dan obat-obatan senilai kurang-lebih 90 ribu poundsterling (setara dengan Rp 1,5 miliar), konvoi tersebut membawa bantuan dari Oxfam, lembaga amal internasional yang berpusat di London, Inggris.
Bantuan itu dikirimkan pada pekan lalu, menyusul seruan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar dunia membuka mata lebar-lebar ke arah Darfur. Terletak di Sudan barat, Darfur baru saja dicatatkan PBB sebagai lokasi krisis kemanusiaan terburuk di dunia pada saat sekarang. Perang antar-etnis serta isu genosida telah melenyapkan hingga 50 ribu nyawa manusia.
Kelompok milisi Arab Janjaweed, yang pro-pemerintah Khartoum, dituding sebagai dalang genosida. Salah satu jurus yang mereka pakai di luar culik, bunuh, bantai adalah melakukan pemerkosaan massal terhadap wanita-wanita "non-Janjaweed" (lihat TEMPO 26 Juli, Dongeng Hitam dari Sudan). Amnesti International telah menginterviu sekitar 250 korban pemerkosaan dari suku Fur. "Pendek kata, wanita Fur berusia 8 tahun hingga 80 tahun bisa masuk daftar korban," ujar Khadija, 32 tahun. Wanita berwajah rupawan ini dihajar empat lelaki Janjaweed selama 10 hari tanpa jeda pada Februari lalu.
Milisi Janjaweed juga memaksa sejuta lebih manusia meninggalkan kampung halaman mereka. Sebagian mengalir ke kamp pengungsi Kalma, tempat 60 ribu lebih manusia berjejalan di bawah tenda-tenda plastik. Di kamp itu, baru tersedia 200 kakus. Artinya, satu kakus mesti diantre oleh, masya Allah, 285 manusia. Maka, para petugas Oxfam berjibaku untuk secepatnya mendatangkan sebanyak mungkin air bersih, pompa, pipa, pemurni air, dan kakus.
Yang jadi soal, bantuan sulit sekali dialirkan ke pusat-pusat krisis. Begini kesulitannya. Pesawat-pesawat pengangkut bala bantuan dari mancanegara hanya mendarat di Nyala, yang menjadi basis pendaratan bantuan. Jarak dari bandara Nyala ke Kalma cuma 15 kilometer. Tapi truk-truk bantuan memerlukan waktu tempuh tiga jam. Di musim hujan, yang akan berawal pada Agustus nanti, waktu tempuh ini bisa berlipat hingga tiga sampai empat hari.
"Saya sudah bekerja di banyak situasi darurat di Zimbabwe, Malawi, Kolombia, Irak, Kongo, Angola. Ini krisis kemanusiaan terbesar yang pernah saya lihat," kata Sophie Battas, salah satu koordinator program Oxfam di Darfur. Battas berkisah tentang perempuan yang terdampar di Darfur tiga bulan lalu bersama lima anaknya. Setiap hari wanita itu harus antre lima jam di bawah matahari untuk sekadar mengisi air ke jeriken. "Makanan jauh dari cukup. Satu-satunya tempat bernaung keluarga itu adalah selembar plastik."
Problem lain adalah dana bantuan. Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, mengeluhkan seretnya dana donatur. Rabu pekan silam, Annan mencoba menggugah lagi sebelas negara Eropa dan Asia untuk mengisi kocek misi PBB di Sudan. Antara lain, Arab Saudi, Italia, Jepang, Jerman, Prancis, Uni Emirat Arab. Juga Belanda, yang kini menjadi Ketua Uni Eropa.
Krisis Darfur yang meletus Februari 2003 ini berpangkal pada beberapa soal: serangan milisi terhadap penduduk, ketidakbecusan pemerintah pusat mengatasi milisi, aksi-aksi gerilya terhadap pasukan pemerintah. Paul Reynolds, analis dari kantor berita Inggris, BBC, menilai bencana di Darfur ini lebih sulit mendapatkan donatur. Letaknya yang terpencil di Afrika Tengah adalah salah hal. Tapi, hal yang lebih mendasar adalah ini: krisis di Afrika sulit memikat intervensi luar, terutama Amerika Serikat, kecuali proporsinya benar-benar luar biasa.
Reynolds yakin intervensi militerdi bawah panduan PBBakhirnya akan datang di Sudan. "Tapi itu akan terbatas pada pengamanan bantuan," katanya. Masalahnya, Khartoumibu kota dan pusat pemerintahan Sudansetuju atau tidak pada langkah tersebut. Sudah ada contoh pemakaian tentara semata-mata untuk mengamankan pengungsi. Setelah Perang Teluk 1991, misalnya, Amerika, Inggris, dan sejumlah negara lain menetapkan daerah aman bagi pengungsi Kurdi yang mengalir ke Turki.
Bagaimana dengan kans bantuan ke Darfur? PBB masih menimbang-nimbang. Yang siap menyumbang serdadu baru Inggris, Australia, dan Selandia Baru. Sementara itu, tenaga tentara yang ada di lapangan sekarang baru 300 anggota pasukan pemantau Uni Afrika. Memang belum banyak yang bisa diharapkan dari Uni Afrika. Tanpa soal Darfur pun, perkumpulan 53 negara Afrika itu sudah terengah-engah oleh hantaman rupa-rupa krisis di seantero benua.
Yanto Musthofa (BBC, Guardian, NYT, Oxfam)
Azab di Sekujur Wilayah
Darfur, wilayah seluas Prancis, membentang dari padang pasir di utara sampai ke padang rumput di selatan. Wilayah ini dibelah Gunung Marra yang berapi, kaya akan curah hujan, dan lebih subur dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Sudan. Darfur juga menyimpan cadangan minyak berlimpah.
Awal Krisis
Konflik Darfur, yang berpenduduk enam juta jiwa, meletus pada Februari 2003. Tragedi itu berawal setelah pemberontak setempat menyerang pemerintah Khartoum. Alasan mereka, pemerintah pusat menindas kulit hitam Afrika demi membela etnis Arab. Secara historis, sengketa tanah kerap terjadi antara kaum nomad Arab dan para petani etnis Fur, Massaleet, dan Zagawa yang telah menetap.
Korban
- Jumlah korban yang tewas bervariasi dari 10 ribu sampai 50 ribu orang.
- Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) memperkirakan 350 ribu orang bakal tewas juga bila bantuan kemanusiaan yang memadai tak segera tiba.
- Satu juta penduduk terusir dari rumah, sebagian mengungsi ke negeri tetangga, Chad.
- Amnesti International melaporkan 300 lebih wanita dan anak-anak telah menjadi korban pemerkosaan.
Misi Kemanusiaan
- Selain misi PBB, sejumlah organisasi bantuan kemanusiaan sudah bergerak di Darfur, termasuk Oxfam dan sepuluh lembaga lain dari Inggris.
- Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, menargetkan dana US$ 349 juta (Rp 3,2 triliun) untuk misi bantuan kemanusiaan di Darfur. Yang terkumpul sejauh ini baru US$ 158 juta.
Sumber: BBC/Green Left/NY Times
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo