Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Diplomasi dua arah

Di saat posisi plo sedang terjepit, raja hussein mengadakan pendekatan dua arah. ke israel dan syria. sharon masih memandang curiga, meski begitu, hussein tak berniat mengucilkan plo. (ln)

23 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERDANA Menteri Israel Shimon Peres mengancam akan memecat Menteri Industri dan Perdagangan Ariel Sharon Rabu pekan lalu, dengan tuduhan telah melakukan pelanggaran hukum. Situasi mulai genting dan orang-orang di Tel Aviv bicara tentang krisis kabinet. Tapi dua hari kemudian, Sharon mengajukan surat permintaan maaf, dan kabinet koalisi yang rapuh itu akhirnya terselamatkan. Sekalipun begitu, dalam satu keterangan di Los Angeles, ia menyatakan bahwa tidak terbayangkan olehnya tentara Israel akan ditarik dari dataran tinggi Golan agar daerah itu kelak bisa dikembalikan pada Syria. Ditegaskannya pula, Raja Yordania, Hussein, pasti akan mengusir orang-orang Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dari basis mereka di Amman sebagai satu isyarat perdamaian kepada Israel. Sharon, yang sebelum ini dikenal sebagai arsitek penyerbuan Israel ke Libanon, memang tersohor berlidah tajam. Namun, apa yang dikatakannya tentang isyarat perdamaian bukanlah tanpa dasar. Dalam satu bulan terakhir ini, Raja Hussein melakukan pendekatan gencar dua arah, ke Israel dan Syria. Pertengahan Oktober silam, ia berunding dengan Peres di suatu tempat di London. Tapi sebelum itu sudah terjadi beberapa kontak antara wakil-wakil kedua negara di Kairo, lalu di beberapa kota Eropa dan juga di sepanjang perbatasan Israel-Yordania. Untuk beberapa masalah mendasar, status Kota Yerusalem, misalnya, kedua pihak tampakuya akan terus bersilang pendapat, tapi ditinjau secara keseluruhan, orang mencatat ada kemajuan. Bahkan bisa dikatakan, Yordania secara ridak resmi sudah mengakui Israel, begitu pula sebaliknya. Tapi Sharon tetap memandang pendekatan ini dengan penuh curiga. Harus diakui, Raja Hussein diam-diam sedang melakukan terobosan ke Tel Aviv dan Damaskus, suatu upaya yang selama ini dianggap mustahil. Tentu tidak mudah bagi Hussein untuk mengetuk hati Presiden Syria Hafez Assad, yang terlibat sengketa dengan Yordania sejak 1978. Assad menuduh Yordania sebagai basis Muslim fundamentalis yang mengacau di Syria, satu hal yang sejak mula dibantah Hussein. Tapi berkat adanya kontak yang mengambil tempat di Arab Saudi, maka rujuk kedua negara itu terlaksana juga akhirnya. PM Yordania Zeid Al Rifai sudah bicara dengan Assad di Damaskus, dan kabarnya dalam tempo dua pekan mendatang Hussein sendiri yang akan menemui presiden Syria itu. Yang pasti, di pentas Timur Tengah kini, Raja Hussein tampil sebagai pemrakarsa perdamaian pada saat posisi PLO kian terjepit. Sementara Syria memusatkan seluruh perhatiannya ke Libanon, negara-negara Arab pengekspor minyak sibuk mengatasi krisis minyak di negara masing-masing, dan AS sudah tidak mau tahu dengan Yasser Arafat. Di mata Presiden Ronald Reagan, pemimpin PLO itu bersikap mendua, suatu saat memilih jalan diplomasi, tapi kemudian bekerja sama dengan Abu Abbas, tokoh yang dituduh Washington mendalangi pembajakan kapal Achille Lauro. Dan Raja Hussein sendiri tampaknya juga jera berurusan dengan Arafat. Bukan saja karena pemimpin PLO itu kurang tegas mengarahkan perjuangan gerilyawan Palestina, tapi juga karena kredibilitasnya semakin diragukan. Sekalipun begitu, dalam satu keterangan pers, awal bulan ini, Hussein menandaskan bahwa partisipasi PLO tetap sangat menentukan dalam menciptakan perdamaian di Timur Tengah. Karena itu, barangkali, ia masih memperjuangkan tiket pengakuan AS bagi PLO dengan bantuan Inggris. Hal itu dilakukannya karena Washington tidak pernah bersedia mengakui eksistensi PLO, padahal suka atau tidak suka ini merupakan prasyarat ke meja perundingan. Dalam upaya mengubah pendirian AS, Hussein merintis kerja sama dengan PM Inggris Margaret Thatcher, yang belum apa-apa sudah gagal, justru karena ulah Uskup Elia Khoury dan Mohammed Milhem. Kedua tokoh PLO ini, karena hal-hal yang, kata mereka, paling prinsipiil, menolak menandatangani komunike yang disodorkan Inggris di London. Menurut mereka, untuk berunding tidak diperlukan prasyarat apa pun. Akibatnya, diplomasi kembali menemukan jalan buntu. Tidak heran bila Hussein akhirnya berpaling ke Tel Aviv dan Damaskus. Sampai seberapa jauh ia akan berhasil masih tanda tanya. Yang pasti, konflik Timur Tengah mulai coba diatasi oleh negara-negara yang langsung terlibat, tanpa campur tangan AS, Inggris, ataupun Uni Soviet.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus