Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dua jurnalis Myanmar ditangkap di kota perbatasan dengan Thailand.
Keduanya disekap di hutan tanpa makan dan minum selama 24 jam.
Mereka meliput soal pekerja ilegal Cina dalam pembangunan di kota perbatasan Myanmar.
KOTA Myawaddy di perbatasan Myanmar-Thailand bukan tempat yang asing bagi jurnalis Frontier Myanmar, Naw Betty Han. Dalam setahun ini, setidaknya ia sembilan kali ke kota yang jaraknya sekitar 406 kilometer atau delapan jam perjalanan darat dari Kota Yangon itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbeda dengan sebelumnya, pada 4 Maret lalu, ia menghadapi masalah saat berada di Jembatan I, yang lokasinya berdekatan dengan perbatasan. Betty, yang saat itu bersama fotografer Myanmar Times, Ko Mar Naw, didatangi dua personel keamanan yang memakai atribut kepala dengan aksara Cina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua penjaga itu menuduh keduanya mengambil foto pos penjagaan militer suku Karen, penguasa di daerah tersebut, yaitu Pasukan Penjaga Perbatasan (BGF) Negara Bagian Kayin. “Kami beralasan hanya mengambil foto pembangunan di area itu,” kata Betty dalam wawancara telepon dengan Tempo, Kamis, 19 Maret lalu.
Penjelasan itu tak memuaskan dua petugas tersebut. Keduanya lantas membawa Betty dan Mar Naw ke beberapa tempat sebelum akhirnya menyekap mereka di sebuah kandang kecil di tengah hutan karet. Di salah satu perhentian, mereka dianiaya. Mereka baru dilepas keesokan harinya.
Penangkapan ini memicu kecaman terhadap BGF, yang berafiliasi dengan tentara nasional Myanmar, Tatmadaw. Pada Selasa, 10 Maret lalu, organisasi jurnalis internasional (IFJ) mengecam penyekapan tersebut. “Sangat jelas ada lebih dari dua orang yang bertanggung jawab atas serangan terhadap media ini dan mereka harus dimintai pertanggungjawaban,” tulis organisasi yang berpusat di Brussels, Belgia, itu.
BGF berusaha meredakan kasus ini dengan mengundang Dewan Pers Myanmar ke Kayin untuk bertemu dan memberikan penjelasan. Menurut salah satu pengurus organisasi wartawan di Myanmar, BGF menyatakan ada kesalahpahaman di antara personel militernya dan memastikan mereka terbuka jika ada media yang meliput di sana.
Kepala BGF Kayin Kolonel Saw Chit Thu mengungkapkan, tidak ada instruksi untuk menangkap atau menginterogasi wartawan mana pun. “Kami sudah menangkap orang yang terlibat dalam insiden ini, yang melampaui perintah resmi, dan mereka akan dihukum. Saya juga menginstruksikan pasukan agar tidak melakukan ini pada masa depan,” ucapnya seperti dilansir The Irrawaddy.
•••
SEBELUM bekerja di Myanmar Frontier, Betty Han menjadi reporter senior di Myanmar Times. Sebelumnya, dia adalah jurnalis video di Democratic Voice of Burma pada 2014 serta reporter politik dan berita di mingguan Hinthar pada 2016. Perempuan jurnalis ini banyak mendapat penugasan menulis berita tentang perbatasan. Tema tulisannya berkisar soal aktivitas bisnis legal dan ilegal BGF, termasuk proyek pembangunan kota baru Cina, The Shwe Kokko.
BGF Kayin memiliki sekitar 6.000 tentara dan dibentuk pada Agustus 2010 dengan 12 batalion dari Tentara Buddhis Karen Demokratik (DKBA) dan satu batalion dari Front Perdamaian Karen yang berbasis di Haungtharaw. BGF Kayin adalah satu dari beberapa BGF di wilayah perbatasan Myanmar yang pada waktu itu dibentuk oleh faksi-faksi etnis bersenjata yang telah bersekutu dengan Tatmadaw.
Adapun DKBA dibentuk pada 1994 dari faksi mayoritas Buddhis dari Uni Nasional Karen (KNU) yang tidak puas dan memberontak terhadap pemerintah pusat sejak 1949. DKBA lantas bergabung dengan Tatmadaw dan menyerang bekas rekan Karen mereka. Sebagai kompensasi, mereka mendapat kekuasaan di sejumlah daerah di perbatasan tersebut, yang sebelumnya dikuasai KNU.
Dalam liputan yang diterbitkan pada Desember 2019-Januari 2020, tema yang ditulis Betty beragam. Dalam artikel yang terbit pada 16 Desember 2019, ia menulis soal bisnis-bisnis yang dimiliki GBF, dari proyek konstruksi hingga tempat wisata. Pada edisi 18 Januari 2020, dia mengungkap penyelundupan bir dari Thailand ke Myanmar melalui pos penjagaan perbatasan yang berada di bawah kendali BGF.
Betty menerangkan, ia ke perbatasan pada awal Maret lalu untuk liputan berbeda. “Kami sedang menyelidiki pekerja asal Cina yang tinggal secara ilegal di Kota Myawaddy. Mereka masuk secara ilegal melalui perbatasan yang diawasi oleh BGF,” tuturnya.
Pada 4 Maret lalu, ia bersama Ko Mar Naw tiba di Jembatan I, dekat perbatasan, saat tiba-tiba didatangi dua tentara. Sebelum ditangkap, ia sempat melihat banyak pekerja asal Cina di sekitar proyek pembangunan di area itu. Menurut taksiran dia, jumlahnya sekitar seribu orang. Jumlahnya mungkin lebih banyak karena itu hanya yang terlihat dari luar. “Menurut hasil penelusuran kami, pekerja Cina ilegal ini di bawah perlindungan BGF dan bekerja untuk proyek pembangunan kasino dan The Shwe Kokko.”
Dua penjaga itu menuding keduanya memotret pos penjagaan BGF yang terletak tak jauh dari jembatan. Betty dan rekannya membantah dengan mengatakan bahwa mereka hanya memotret proyek pembangunan di sana. Kedua penjaga lantas meminta keduanya ke pos keamanan terdekat untuk menjelaskan alasannya.
Betty dan Mar Naw lantas dibawa dengan mobil hitam. Di suatu tempat, dua penjaga itu memanggil teman-temannya. “Saya tidak tahu di mana tempat itu karena sepanjang perjalanan mata kami ditutup dengan kain hitam,” ujar Betty.
Sebelum mereka dibawa ke tempat berikutnya, Betty sempat mengirim pesan pendek melalui telepon selulernya ke rekan sekantornya. Pesan pertama berisi informasi bahwa ia ditangkap oleh BGF di jembatan nomor satu. Pesan kedua: “Jika menerima pesan ini, tolong segera telepon polisi.” Mengetahui Betty mengirim pesan, penyanderanya langsung merampas teleponnya.
Mereka dibawa penyandera ke sebuah perkebunan karet. Menurut taksiran Betty, lokasinya tak jauh dari Kota Myawaddy karena bisa dijangkau dalam waktu sekitar 20 menit dari kota. Di sana, ia melihat mobil lain datang. Terlihat seperti ada pos militer juga. Personel militer yang baru datang itu mengerumuni Betty dan Mar Naw. Penganiayaan mereka terjadi di hutan ini.
Mar Naw mengatakan orang-orang itu memukulnya beberapa kali dan menendang wajahnya sampai hidungnya berdarah. “Saya meminta maaf kepada mereka beberapa kali dan meminta mereka tidak memukul saya. Tapi mereka tidak berhenti,” ucap Mar Naw kepada The Irrawaddy. “Mereka juga memukul muka saya,” kata Betty.
Tentara itu lalu membawa Bety dan Mar Naw dengan truk kecil ke tempat lain. Tak beberapa lama, mereka tiba di sebuah tempat yang terdapat kandang kecil. Tinggi dan lebarnya kurang-lebih dua meter. Mar Naw dibawa ke tempat berbeda.
Penangkapnya memasukkan Betty ke dalam kandang dengan tangan terikat ke belakang. Ia pun hanya berbaring di lantai sampai keesokan harinya. “Saya tidak makan apa pun selama di tempat penahanan itu,” tutur Betty. “Mereka memberi saya sebotol air, tapi tidak melepaskan ikatan tangan saya. Jadi saya tidak dapat membukanya dan tak bisa meminumnya juga.”
Penderitaan Betty berakhir keesokan harinya, 5 Maret, saat ia dibawa ke kantor BGF yang terletak di sebuah kompleks kasino di Myawaddy. Perusahaan tempat Betty bekerja rupanya menemui pemimpin BGF. Pemimpin BGF menjelaskan bahwa penangkapan ini dilakukan tanpa ia ketahui. “Komandan BGF meminta maaf dan berjanji menghukum para penyandera,” ujarnya.
Menurut Betty, pada Ahad, 15 Maret lalu, BGF mengumumkan ada lima orang yang dikirim ke penjara karena kasus penangkapan ini. Kini Betty diminta beristirahat di rumah untuk memulihkan kondisi mentalnya. Namun penyanderaan ini tak akan menghentikan langkahnya. Meski beristirahat di rumah, ia berusaha menyelesaikan tulisannya tentang penyanderaan dan para pekerja ilegal Cina.
ABDUL MANAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo