Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Para anggota parlemen mengatakan dukungan dari China, Rusia, dan India membuat junta Myanmar bertahan dalam melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Mereka menganggap ASEAN gagal menekan Myanmar dalam rencana perdamaian yang mereka usulkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada Rabu, 2 November 2022, para anggota parlemen internasional mengatakan dukungan yang teguh dan tidak kritis ini, terutama dari Beijing dan Moskow, untuk militer Myanmar datang di tengah kurangnya kemajuan dalam rencana perdamaian yang diusulkan oleh negara-negara tetangga di ASEAN.
Menurut mereka, sudah saatnya untuk mengambil langkah-langkah yang lebih kuat dan meninggalkan rencana ASEAN untuk menopang dukungan bagi oposisi demokratis Myanmar.
Mereka mengatakan negara-negara yang mendukung demokrasi harus segera mengakui Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) Myanmar sebagai otoritas yang sah di negara tersebut dan menyediakan dana untuk NUG dan kelompok etnis bersenjata yang telah bersekutu dengannya.
Karena militer belum mampu mengkonsolidasikan kekuatannya 19 bulan setelah kudeta, tindakan seperti itu harus segera diambil.
Perlawanan yang dilakukan NUG dan kelompok etnis bersenjata terhadap militer hampir memicu runtuhnya ekonomi dan krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya akibat kekerasan yang terus berlanjut.
Sekitar 1,2 juta orang kini mengungsi di negara itu, sementara pasukan keamanan dilaporkan telah memenjarakan sedikitnya 15 ribu orang karena kejahatan politik dan membunuh sedikitnya 2.371 pembangkang lainnya.
Sementara itu, Myanmar telah mendapat kecaman internasional setelah perebutan kekuasaan. Amerika Serikat dan Uni Eropa memberlakukan sanksi untuk mengisolasi militer Myanmar. Namun, menurut laporan, pemimpin junta militer Min Aung Hlaing terus mempertahankan kekuasaan dengan dukungan sekutu internasionalnya yakni China, Rusia, dan India.
“Dukungan dan legitimasi yang diberikan oleh pemerintah-pemerintah ini telah memungkinkan junta mempertahankan dirinya dan melakukan banyak pelanggaran, termasuk HAM, meskipun gagal mengonsolidasikan kudetanya,” kata laporan itu seperti dikutip Al Jazeera.
“Dukungan ini telah meningkat pada 2022, karena sekutu junta semakin melihat kepentingan mereka di Myanmar terkait dengan keberhasilan SAC,” katanya, merujuk pada Dewan Administrasi Negara militer.
China dan Rusia telah memblokir setiap tindakan substantif terhadap militer Myanmar di Dewan Keamanan PBB, sementara pasukan keamanan negara itu dilaporkan menggunakan senjata yang dipasok China dan Rusia untuk melakukan pelanggaran HAM.
China menjadi salah satu sekutu paling kuat militer Myanmar. Saksi mata mengatakan kepada penyelidikan parlemen bahwa dukungan Beijing telah merusak kemampuan ASEAN untuk mengatasi krisis yang terjadi di Myanmar
“Pada akhirnya, pemerintah China telah memutuskan akan lebih memilih untuk melanjutkan bisnis seperti biasa dengan SAC dan telah berusaha melindungi junta dari akuntabilitas internasional demi mempertahankan kepentingan ekonomi dan strategisnya di Myanmar,” kata laporan itu.
Tidak seperti China, Rusia telah menunjukkan dukungan kuat untuk SAC militer sejak awal. Bahkan Moskow mengirim perwakilan resmi ke perayaan militer Hari Angkatan Bersenjata yang diadakan di Naypyidaw pada 27 Maret ketika pasukan keamanan membunuh pengunjuk rasa.
Min Aung Hlaing juga telah disambut di Kremlin setidaknya tiga kali sejak kudeta. Dalam kunjungan terakhirnya pada September lalu, sang jenderal bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Sebagai imbalan atas dukungan ini, Myanmar telah memberikan dukungan vokal untuk invasi Rusia ke Ukraina.
Adapun kontribusi India pada junta militer Myanmar berupa pengakuan dan melakukan pendekatan bisnis untuk hubungan lintas batas.
ALJAZEERA | NESA AQILA