Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HUJAN dan salju mengguyur pegunungan di sekitar tenggara Kota
Beirut. Suasana itu seakan menyelimuti persiapan pindah dua
kontingen di tempat berbeda: pasukan marinir Amerika Serikat di
pelabuhan udara Beirut dan laskar Organisasi Pembebasan
Palestina (PLO) pro-Arafat di bandar Tripoli. Namun? hingga awal
pekan in, kedua pasukan itu belum beranjak dari tempat
masing-masing.
Untuk para marinir AS, isyarat telah tersirat dalam keterangan
Jenderal Paul X. Kelley di Washington, pekan lalu. Panglima
Korps Marinir AS itu menyatakan "optimistis bahwa unit amfibi
marinir AS akan ditarik dari Libanon, awal tahun depan." Kelley
adalah perwira senior AS pertama yang membicarakan nasib 1.600
marinir itu secara terperinci.
Menurut perkiraan, penarikan mundur itu akan dilakukan melalui
tiga tahap. Dalam minggu-minggu ini, kesatuan marinir itu akan
dipindahkan dari pelabuhan udara Beirut ke tempat baru di
selatan, di sekitar jalan pantai menuju pelabuhan Sidon dan
Tyre. Kemudian, secara berangsur, mereka ditarik ke kapal-kapal
AS yang berlabuh di lepas pantai. Terakhir, bila tentara Libanon
sudah dianggap mampu mengatasi keadaan, mereka dipulangkan ke
AS.
Rencana ini, tentu saja, sepenuhnya tergantung pada situasi di
Libanon sendiri. Sejak pulang dari AS, minggu silam, presiden
Libanon Amin Gcmayel justru berhadapan dengan keadaan yang makin
buruk. Usahanya membentuk kabinet dengan kesempatan lebih luas
bagi kelompok non-Maronite belum berhasil. Bahkan kelompok Syiah
dan Druze - kekuatan utama oposisi - tak berselera menyambut
gagasan itu.
Tentara pemerintah, yang berkekuatan 34.000, ditambah 7.000
polisi hanya menguasai sekitar 10% wilayah Libanon. Setelah
pembunuhan terhadap Hakim Tinggi Sheik Halim Takieddine, Libanon
menurunkan pasukan bersenjata lengkap guna menjaga kemungkinan
serangan besar Druze. Apalagi tokoh Druze Walid Jumblat sudah
mengumbar tekad membalas dendam.
Dua peristiwa berdarah lain ikut membuat suasana bertambah
panas. Di Lembah Bekaa, awal minggu lampau, Syria menembak jatuh
dua pesawat Israel. Di Yerusalem, sebuah bis meledak dengan
korban empat tewas dan 46 luka. Dari kantornya di Nikosia, PLO
menyatakan bertanggung jawab atas ledakan ini. Sebagian pengamat
melihat tindakan ini sebagai aksi balas dendam. Sehari
sebelumnya, sebuah mobil bermuatan bom meletup di permukiman
Islam di Tariq al-Jdideh, Beirut. Hampir 20 orang tewas 100
lainnya luka-luka.
Selang tiga hari setelah peristiwa Lembah Bekaa dan tragedi
Yerusalem, sebuah gencatan senjata baru tercapai. Tapi, komite
keamanan yang bertanggung jawab untuk pembukaan bandar udara
Beirut tak bisa bertemu karena salah satu milisi oposisi, Amal,
melancarkan boikot. Mereka bahkan tidak mengakui eksistensi
pemerintah Libanon (Lihat: Siap Berkelahi 100 Tahun).
Milisi Syiah Amal menghimpunkan sekitar 15.000 sampai 20.000
sukarelawan. Syria menempatkan 50.000 tentaranya di Libanon
Libya menempatkan 1.000 serdadu. Milisi Druze berkekuatan
11.000.
Israel, yang sedang mendapar angin dari pemerintah AS,
menyarangkan 20.000 serdadunya di Libanon. Di sana ada pula
6.000 tentara PBB, 5.800 pasukan multinasional dan 2.000 milisi
Kristen pro-Syria. Di Tripoli, 4.000 milisi Tauhid dan 4.000
laskar Arafat sedang berhadapan dengan 2.000 pembangkang PLO
yang didukung Syria dan Libya. Di samping itu, masih terdapat
25.000 pasukan Falangis dan 10.000 anggota kelompok bekas
presiden Libanon, Sulaiman Franjieh. Di tengah simpang-siur
kelompok bersenjata inilah Amin Gemayel memainkan kartu-kartunya
yang tidak meyakinkan.
Di Tripoli, laskar Arafat, yang siap evakuasi, belum bisa keluar
pelabuhan. Kapal perang dan helikopter Israel menembaki posisi
mereka. Tak satu pun negara Arab memberi payung militer untuk
kafilah Arafat. "Evakuasi yang paling sedih," tulis seorang
wartawan dari Tripoli.
Di Yerusalem, Israel menyatakan tak sudi menjamin keamanan
pasukan Arafat yang meninggalkan Tripoli. Sekretaris kabinet
Israel, Dan Meridor, malah mencela PBB yang mengizinkan
benderanya berkibar di empat kapal Yunani, yang akan mengangkut
pasukan PLO itu, sesuai dengan permintaan Yasser Arafat. Menurut
rencana, dua kapal akan berlayar ke Yaman Utara, dan dua lainnya
ke Tunisia. Sekitar 60 anak buah Arafat yang luka akan diangkut
kapal Italia berbendera Palang Merah. "Kami tidak akan
mengumumkan perang dengan Yunani atau PBB," kata seorang pejabat
senior Israel. Tapi, menurut beberapa diplomat Barat, Israel
sengaja "menggantung" Arafat dan memancing kemarahan dunia
terhadap keputusan PBB.
Evakuasi kali ini sepenuhnya tidak menguntungkan Arafat. Tak
satu pun serdadunya diizinkan Syria kembali ke Lembah Bekaa.
Kamp Badawi dan Nahr El-Bared, yang dihuni sekitar 35.000
pengungsi Palestina, tetap diduduki pasukan pemberontak PLO Abu
Musa.
Kemungkinan Arafat mendekati Raja Hussein dari Yordania
tampaknya juga akan terganggu. Setelah sidang kabinet Israel,
Ahad lalu, Dan Meridor mengulangi imbauan kepada Raja Hussein
untuk merundingkan masa depan Tepi Barat. "Setelah PLO binasa,
tibalah waktu yang baik untuk perundingan semacam itu," kata
Meridor.
Serangan Israel terhadap posisi Syria dan sekutunya di Libanon
tampaknya mempengaruhi sikap Damaskus. Ditambah berita
simpang-siur mengenai penyakit Presiden Hafez Assad, yang
diopname sejak 13 November, AS dan sekutunya seperti menanti
peluang yang baik untuk memberikan pukulan menentukan. Menurut
mingguan Libanon, An Nahar Al-Arabi Wal Dawli, pemerintahan
sehari-hari Syria kini dijalankan dewan enam orang. Salah
seorang anggota dewan adalah Kolonel Rifaat Assad, komandan
brigade elite angkatan darat, dan adik kandung Hafez Assad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo