Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembahasan penempatan posisi pimpinan komisi-komisi di DPR berlangsung alot. Sidang yang seharusnya bisa berlangsung tepat waktu lebih sering molor. Padahal, setumpuk tugas sudah menanti di depan para anggota DPR. "Ini kan bulan puasa," kata Sekretaris Fraksi Partai Golkar, Yahya Zaini, memberi alasan dengan enteng.
Dalam rapat konsultasi pimpinan DPR dan pimpinan fraksi beberapa waktu lalu, sudah tercapai kesepakatan untuk memekarkan jumlah komisi dari sembilan menjadi 11 ditambah lima badan. Komisi II yang dulu membidangi hukum dan pemerintahan harus dipecah. Masalah-masalah yang berkaitan dengan pemerintahan tetap di bawah kendali Komisi II, sedangkan masalah hukum dan keamanan di bawah kendali Komisi III. Begitu juga dengan Komisi VI dan VII, yang dulu membidangi masalah agama, sosial, kesehatan, dan tenaga kerja, harus mengalami nasib serupa. Masalah-masalah agama, sosial, dan perempuan kini berada di bawah naungan Komisi VIII. Sedangkan masalah kependudukan, kesehatan, dan ketenagakerjaan berada di bawah komisi IX.
Pemekaran dilakukan karena jumlah anggota DPR mengalami pertambahan dari 500 sebelumnya menjadi 550 orang. Alasannya, agar beban kerja komisi tidak terlalu berat sehingga rapat-rapat kerja bisa berlangsung efektif dan fokus. "Selama ini beban Komisi II, VI, dan VII itu terlalu besar," kata Ketua DPR, Agung Laksono.
Fraksi-fraksi pun sepakat, termasuk kesepakatan soal jatah ketua dan wakil ketua di komisi dan badan. Setelah dihitung-hitung dengan pendekatan proporsionalitas perolehan kursi di parlemen, ada 16 posisi ketua (11 komisi plus lima badan) dan 48 wakil ketua. Jumlah itu kemudian dibagi ke 10 fraksi DPR.
Golkar mendapat empat jatah ketua dan 11 wakil ketua, PDI Perjuangan tiga ketua dan sembilan wakil ketua, PPP, Demokrat, dan PAN masing-masing dua ketua dan lima wakil ketua. Sedangkan PKB dan PKS masing-masing mendapat satu ketua dan empat wakil ketua. Bintang Pelopor Demokrasi mendapat jatah satu ketua dan dua wakil ketua. PBR dan PDS masing-masing mendapatkan satu wakil ketua.
Di sinilah masalah mulai muncul. Sepuluh fraksi yang ada berebut posisi di komisi "basah" atau sering juga disebut komisi "mata air". Komisi "mata air" itu antara lain Komisi II (pemerintahan), Komisi III (pertanian, perkebunan), Komisi V (perhubungan dan telekomunikasi), Komisi VI (perdagangan, BUMN), Komisi XI (keuangan dan perbankan), serta Panitia Anggaran. Kenapa disebut komisi "mata air"? "Itu karena mitra kerjanya memiliki kantong keuangan yang besar, bagai mata air," ujar Hafiz Zawawi, politisi Partai Golkar.
Posisi ketua di Komisi II, misalnya, diminati Fraksi Golkar, Demokrat, dan Bintang Pelopor Demokrasi. Komisi XI diminati Golkar dan PDI Perjuangan. Begitu juga posisi ketua di Panitia Anggaran. Golkar, PPP, dan Demokrat juga saling berebut.
Anehnya, posisi strategis seperti Badan Kerja Sama Antar-Parlemen yang bertugas melakukan komunikasi dengan parlemen di luar negeri, dan Badan Kehormatan yang bertugas memverifikasi kesalahan yang dilakukan anggota, tak banyak peminatnya. Memang, dua badan itu tidak mengandung "mata air", melainkan "air mata" alias terus-menerus bersidang sampai penat tanpa ada yang mengiming-imingi "imbalan".
Tumpleknya minat merebut posisi-posisi "basah" itulah yang membuat rapat konsultasi Jumat pekan lalu macet. "Kalau saling ngotot, ya apa boleh buat, terpaksa harus divoting," kata Sekretaris Fraksi Partai Demokrat, Sutan Bhatoegana.
Namun, kubu Koalisi Kebangsaan agaknya menghindari jalan voting. Sebab, menurut Hafiz, voting akan kembali menghadapkan Koalisi Kebangsaan dengan Koalisi Kerakyatan. "Kami khawatir koalisi tak kompak. Apalagi, sudah ada beberapa orang yang semula tergabung dalam koalisi sekarang duduk di jajaran kabinet," bisik sumber lain di Koalisi Kebangsaan.
Sutan Bhatoegana setuju. Kata dia, jalan musyawarah jelas akan lebih baik, karena semuanya dapat yang seimbang dan rata. Jika voting yang dilakukan, yang menanglah yang akan menguasai kursi pimpinan komisi. "Ini kan gawat. Apa ya kita semua solid?" ujarnya.
Karenanya, jalan musyawarah terus ditawarkan. Agar, kata Yahya, "Kita dapat, mereka pun dapat." Risikonya adalah sidang-sidang pun jadi alot.
Fajar W.H.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo