Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAGI itu, seperti biasa, Tjiptaning berangkat ke kliniknya di Ciledug, Tangerang, untuk berpraktek. Hanya sebentar berjalan kaki, di kliniknya sudah ada dua pasien menanti. Tjiptaning, 46 tahun, memilih melayani mereka ketimbang hadir di Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat di Senayan, mengikuti acara pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan wakilnya, M. Jusuf Kalla.
"Saya tak bisa," kata Dokter Ribka Tjiptaning Proletariyati?begitu nama lengkap anggota parlemen dari PDI Perjuangan ini. Sebelumnya ia dikenal sebagai penulis buku Aku Bangga Jadi Anak PKI. Meski anggota parlemen, Tjiptaning mengaku tak bisa melihat SBY, yang berlatar belakang tentara, dilantik sebagai presiden. Hari itu di Senayan, rupanya ia tak sendiri. Dari 679 anggota MPR, hanya 511 yang datang.
Megawati Soekarnoputri termasuk yang tak sudi hadir. Ia memilih sibuk mengurusi tanaman di pekarangan rumahnya di Kebagusan. Cuma, kalau ketidakhadiran Tjiptaning tak sampai membuat setori, absennya Mega lumayan rame jadi omongan. Berbagai upaya dilakukan untuk "membujuk" Mega hadir, baik oleh pimpinan MPR maupun kubu SBY, namun sang Ibu seperti melengos cuek.
Menurut Irvan T. Edyson, koordinator staf pribadi SBY, kubu mereka serius membangun komunikasi politik dan rekonsiliasi dengan Megawati. "Agar tidak ada kesenjangan antara pemerintah baru dan yang lama," katanya. SBY bahkan menginginkan bisa bersilaturahmi dengan Mega di Kebagusan, usai pelantikannya. "Baru setelah itu ke Istana Negara," kata Irvan. Tapi, begitulah, semuanya tinggal cita-cita.
Rupa-rupa jurus sudah dijajal. Mulai dari yang standar: mengirim surat ke Sekretariat Negara usai pemilu, awal Oktober lalu, mohon bertemu Mega. Jurus ini langsung kandas. Lobi juga dilancarkan ke "orang-orang Mega". Guruh Sukarno Putra, bungsu dari trah Sukarno, dicoba didekati. Pertemuan pertama dilakukan di kawasan Cibubur, Jakarta Timur, beberapa hari seusai pemilu.
Empat poin ditawarkan. Pertama, Guruh diminta mempertemukan SBY dengan Mega melalui jalur keluarga. Kedua, SBY berharap Mega datang ke acara pelantikannya. Ketiga, SBY meminta izin keluarga untuk nyekar ke makam Bung Karno di Blitar. Keempat, Guruh ditawari terlibat dalam Kabinet Indonesia Bersatu sebagai menteri? entah apalah. Pertemuan kedua berlangsung di sebuah hotel dalam acara jamuan pengusaha dengan presiden terpilih.
Guruh mengakui pertemuannya dengan SBY. Perkara keinginan tadi, baru satu yang bisa terkabul: nyekar ke Blitar. "Mbak Mega dan keluarga mempersilakan," kata Guruh kepada Tempo di Kebagusan, pekan lalu. "Bagaimanapun, Bung Karno adalah milik bangsa, semua orang bisa datang berziarah." Ia mengaku menolak jabatan menteri karena tak mau "melukai" kakaknya.
Akan halnya bertemu SBY, kata Guruh, Mega berdalih belum saatnya dilakukan. "Insya Allah, sewaktu-waktu. Namun belum bisa sekarang," kata Guruh, menirukan si Mbak. Mentok di kalangan dalam, jurus melambung pun digelar. Staf khusus SBY, Munawar Fuad, 33 tahun, ditugasi membuka kontak dengan Hasyim Muzadi, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan calon wakil pre-siden dari kubu Mega.
Kontak pengurus teras Pemuda Ansor ini dengan Hasyim dibuat untuk meraih dua agenda sekaligus. Pertama, mengundang Hasyim ke pelantikan presiden terpilih?siapa tahu Mega tergerak. Kedua, melempangkan jalan bagi calon Menteri Agama kabinet SBY, yaitu Maftuh Basyuni, yang berasal dari kalangan NU.
Kontak pertama dilakukan per telepon, 16 Oktober. Ternyata gayung bersambut. "Salam takzim saya untuk Pak SBY," kata Hasyim di seberang telepon. Ia menyatakan akan hadir dalam acara pelantikan di MPR asal ada undangan. Tapi, dalam kapasitas sebagai Ketua NU. Sikapnya ini dipertegas ketika Hasyim ditemui di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, tiga hari kemudian.
Ia mengulangi kesediaannya hadir, yang berarti melempangkan jalan bagi warga NU untuk duduk di kabinet. Hasyim menyatakan Pengurus Besar NU tidak pernah merekomendasikan calon menteri dalam kabinet SBY-Kalla. Namun PBNU ikhlas mendukung presiden dan wakil presiden hasil Pemilu 2004. "Saya bersyukur dan mengenal dekat Maftuh Basyuni karena sesama alumni Pondok Pesantren Gontor," katanya. Namun belum ada kabar tentang Megawati.
Sinyal untuk Mega via Hasyim ini akhirnya juga mentok. Hasyim mengaku sudah mengajak Megawati hadir ke MPR, sampai pada pagi hari menjelang pelantikan, tapi dijawab dengan penolakan. "Saya tak bisa memaksakan," kata Hasyim. Mega menolak karena alasan psikologis: susah buat dirinya datang karena tak ada aturan protokol yang pasti untuk mantan presiden.
Menurut Sutradara Gintings, politisi yang kini bernaung di kandang Banteng, komplikasi psikologi dan etika politik memang bakal meruap bila Mega datang ke pelantikan presiden penggantinya. "Orang yang memaksa Mega datang mengambil referensi Amerika. Padahal di Indonesia elemennya berbeda," kata Sutradara.
"Bayangkan saja, dalam acara pelantikan, seorang presiden akan diikuti oleh presiden dan wakil presiden terpilih pada saat pembukaan. Selesai pelantikan, dia beralih mengikuti di belakang presiden dan wakil presiden terpilih, yang notabene bekas pembantunya di kabinet," Sutradara menjelaskan. Menurut dia, yang penting bukanlah kehadiran Mega dalam pelantikan yang bersifat seremonial dan simbolis, me-lainkan sikap demokratis yang dilakukannya dengan menuntaskan seluruh proses pemilihan umum.
Mega terkesan bertahan pada dalih konstitusi yang tak mengatur kehadiran mantan presiden ke pelantikan penggantinya. Benarkah begitu? Menurut seorang sumber yang sangat dekat Mega, kilah legal hanyalah dalih menutup luka batin. "Mbak Mega merasa ditikam dari belakang," ujar sumber ini.
Awalnya, Februari lalu, Megawati secara khusus mengundang rapat Wakil Presiden Hamzah Haz, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, serta Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra di Istana Negara. Dalam rapat kecil itu Mega me-nyampaikan masuknya surat dari Komisi Pemilihan Umum tentang jadwal kampanye pemilu.
Mereka yang diundang rapat adalah anggota kabinet yang dikabarkan akan mencalonkan diri sebagai presiden. Mega bertanya tentang kejelasan kabar pencalonan itu untuk memudahkan koordinasi pembagian tugas negara selama pemilu. Mega sendiri menjelaskan posisinya sebagai presiden dan Ketua Umum PDIP yang sudah diusulkan partai menjadi calon presiden.
Hamzah Haz pun mengakui dirinya dicalonkan partainya. "Belum final, tapi menuju ke sana, dan saya akan ikut kampanye," katanya. Dari Yusril muncul bantahan: "Tidak, Bu. PBB tidak mencalonkan saya." Terakhir Mega bertanya ke SBY, yang duduk di sebelah kanannya. "Bagaimana, Pak Susilo, saya mendengar sendiri bahwa Pak Susilo dicalonkan sebagai presiden dari partai baru, Partai Demokrat. Apa benar?"
SBY terlihat kaget. "Tidak benar, Bu. Itu reka-rekaan wartawan saja. Yang jelas, saya tak akan berkampanye," ujar SBY. Mega lantas berkata. "Oh, ya sudah kalau begitu, sudah clear. Bapak-bapak sudah tahu semua jadinya." Belakangan ternyata SBY malah masuk daftar juru kampanye Partai Demokrat di urutan atas. Terpaksa sejumlah tugas negara dan pengamanan pemilu dibebankan kepada menteri lain. Namun, di luar, yang diembuskan malahan Mega tak memberikan tugas kepada SBY selama delapan bulan. Mega pun terluka....
Arif A. Kuswardono, Widiarsi Agustina, M. Nafi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo