Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Mike Pompeo, mengutuk keras kudeta di Mali dan meminta semua aktor politik serta militer untuk bekerja menuju pemulihan pemerintahan konstitusional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Amerika Serikat mengutuk keras pemberontakan 18 Agustus di Mali karena kami mengutuk perebutan kekuasaan secara paksa," kata Pompeo, dikutip dari Reuters, 20 Agustus 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami mendesak semua pemangku kepentingan di Mali untuk terlibat dalam dialog damai, untuk menghormati hak-hak Mali atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai, dan untuk menolak kekerasan."
Pernyataan Mike Pompeo juga senada dengan kecaman dari para pemimpin internasional dan organisasi regional lainnya, termasuk Uni Eropa, Komunitas Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat, dan Uni Afrika.
Presiden Mali Ibrahim Boubacar Keita mengumumkan pengunduran dirinya setelah ditangkap bersama dengan perdana menterinya oleh pejabat militer yang memimpin kudeta.
Presiden Mali Ibrahim Boubacar Keita saat menghadiri KTT G5 Sahel di Nouakchott, Mauritania 30 Juni 2020. [Ludovic Marin / Pool via REUTERS]
Dilansir dari CNN, Kelompok militer yang mengidentifikasi dirinya sebagai Komite Nasional untuk Keselamatan Rakyat (CNSP), mengatakan dalam pidatonya kepada bangsa bahwa mereka akan mengawasi transisi politik, pemilihan baru dan jam malam.
Ketegangan politik telah membara sejak Keita memenangkan pemilu kembali pada Agustus 2018, yang menurut oposisi penuh kecurangan.
Pemerintah Keita terus maju dengan pemilihan legislatif pada Maret meskipun ada wabah virus corona, meningkatkan serangan jihadi dan penculikan oleh orang-orang bersenjata tidak dikenal dari pemimpin oposisi utama Mali, Soumaila Cisse.
Para pengunjuk rasa marah dengan keputusan mahkamah konstitusi yang membatalkan 31 hasil pemilu, menyerahkan 10 kursi parlemen ke partai Keita dan menjadikannya blok terbesar.
Seorang juru bicara Komite Nasional untuk Keselamatan Rakyat (NCSP) sebelumnya mengatakan mereka tidak mencari kekuasaan.
"Kami menginginkan stabilitas negara, yang akan memungkinkan kami menyelenggarakan pemilihan umum... dalam batas waktu yang wajar," kata Kolonel Ismael Wague di televisi pemerintah, dikutip dari Reuters.
Kudeta menyusul protes anti-pemerintah selama berbulan-bulan dan pemberontakan yang memburuk dari militan Islam di utara ibu kota, Bamako.
Mali berbatasan dengan Burkina Faso dan Niger, dan ketiga negara tersebut telah berjuang dengan kehadiran kelompok Islamis yang terus meningkat.
Prancis, eks penjajah Mali, dan Amerika Serikat tengah memantau situasi di Mali dengan cemas.
Prancis telah terlibat secara militer di negara itu sejak kudeta 2012. Awalnya upaya Prancis berjalan lancar, tetapi apa yang dikenal sebagai Operasi Barkhane telah menguras biaya. Delapan tahun kemudian, Prancis menghabiskan hampir US$ 1 miliar (Rp 14,7 triliun) setahun untuk operasi itu, tetapi gagal memadamkan gejolak di wilayah perbatasan Mali.
Sementara itu, kepentingan Amerika Serikat di Mali didominasi oleh keinginan akan stabilitas yang dianggap sebagai penghubung bagi kelompok pemberontak Islam di wilayah Sahel.
FERDINAND ANDRE | REUTERS | CNN