Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menemui Kepala Kepolisian Kamboja, Jenderal Neth Savouen, untuk mengajak kerja sama pencegahan perdagangan manusia setelah kasus sejenis jadi sorotan baru-baru ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KBRI Phnom Penh pada Minggu, 31 Juli 2022, telah mengevakuasi 62 WNI terduga korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang dipekerjakan di perusahaan investasi bodong serta judi online di Kamboja. WNI tersebut disekap dan disiksa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan keterangan pers Kementerian Luar Negeri RI, Selasa, 2 Agustus 2022, Retno menyampaikan 4 hal dalam pertemuannya dengan Savouen di Pnom Penh. Pertama, menangani 62 WNI yang sudah dibebaskan. Kedua, menangani yang masih tersisa. Ketiga, kerja sama penegakan hukum. Dan keempat, kerja sama dalam mengambil langkah pencegahan agar kasus serupa tidak terulang lagi.
Berdasarkan catatan KBRI Phnom Penh, kasus perdagangan manusia di Kamboja bukan kali ini saja terjadi. Pada 2021, 119 WNI korban investasi bodong telah dipulangkan ke Indonesia. Tahun ini, kasus serupa semakin meningkat. Hingga Juli 2022, tercatat 291 WNI menjadi korban, dengan 133 orang di antaranya sudah berhasil dipulangkan.
Menanggapi permintaan Menlu RI, Kepala Kepolisian Kamboja, menyampaikan komitmen penuh untuk memberikan kerja samanya. Disepakati bahwa setelah pertemuan ini, otoritas terkait antara kedua negara langsung akan melakukan pertemuan teknis, yang antara lain membahas beberapa hal.
Pertama, investigasi bersama. Kedua, bantuan hukum, Ketiga, penunjukan contact persons guna mempercepat penanganan jika kasus serupa muncul kembali. Dan keempat, membuat MoU kerja sama untuk penanganan TPPO.
Diperjualbelikan
Menurut keterangan Migrant CARE, para korban berasal dari berbagai daerah antara lain Medan (Sumatra Utara), Jakarta, Depok (Jabar), Indragiri Hulu (Riau), Jember (Jatim). Dari agen yang berada di Kamboja, mereka dijanjikan bekerja sebagai operator, marketing dan customer service dengan gaji US$1000 – 1500, atau sekitar Rp15-22 juta.
Faktanya mereka hanya menerima US$500 atau sekitar Rp 7 juta. Apabila para PMI tersebut mengundurkan diri maka harus membayar denda sebesar US$ 2000 – 11000, atau Rp 30-163 juta
Korban dijual dengan harga yang beragam, salah satunya dijual seharga US$2000 atau Rp 30 juta. Mereka dijual dari perusahaan satu ke perusahaan lain karena beberapa sebab. Mereka juga dipekerjakan tanpa kontrak dan jam kerja yang panjang.
Migrant CARE menyatakan kasus perdagangan manusia di Kamboja ini merupakan darurat. Badan itu bahkan mencatat, perkara serupa yang menimpa WNI tidak hanya terjadi di Kamboja, namun juga Filipina dan Thailand.
Anis Hidayah dari Migrant CARE mendesak pemerintah untuk melakukan langkah jangka panjang. Selain mengusut tuntas pelaku perekrut beserta jaringannya yang berada di wilayah Indonesia.
"Kemenaker RI, BP2MI, hingga Pemerintah Daerah mulai dari provinsi, kabupaten/kota
hingga desa harus mengintensifkan edukasi dan sosialisasi migrasi aman dan bahaya trafficking dengan modus-modus mutakhir kepada masyarakat hingga di grassroot," kata Anis.
Menurut Anis, otoritas terkait juga diharuskan mengintensifkan pengawasan agensi perekrut pekerja migran Indonesia, calo baik di lapangan maupun di media sosial yang memanfaatkan situasi ekonomi masyarakat pasca-pandemi.