PERBATASAN India-Cina kembali kisruh. Sebelumnya tentara RRC bertualang ke wilayah India, tapi pekan lalu sebaliknya. Ma Yuzhen- juru bicara Deplu RRC, Rabu lalu mengatakan bahwa negaranya takkan tinggal diam melihat berbagai pelanggaran yang dilakukan tentara India di perbatasan. Yang dimaksud Ma tentu saja dua latihan militer yang dilakukan oleh pasukan penjaga perbatasan India dalam beberapa pekan terakhir. Pertama adalah latihan militer Brasslacks, dan sekarang, latihan lain yang diberi nama Operasi Papan Catur. Menurut kalangan militer India, kedua operasi militer itu diadakanuntuk menjawab provokasi Cina di beberapa bagian dari Himalaya yang merupakan daerah sengketa antara kedua negara. Para pengamat umumnya sependapat bahwa protes Ma kali ini lebih keras ketimbang pernyataan yang dikeluarkan akhir April silam. Soalnya, di ujung protesnya, Ma menuntut agar pasukan India ditarik dari wilayah yang dipersengketakan. Kalau tidak, Cina akan melakukan tindakan balasan. Sebenarnya, sudah lama beredar isu bahwa Cina akan melancarkan "hukuman militer" terhadap India, seperti yang dilakukannya terhadap Vietnam, 1979. Namun, kalangan diplomatik umumnya mengesampingkan kemungkinan bentrok senjata antara kedua negara besar yang penduduknya juga paling besar itu. Alasannya: baik Beijing maupun New Delhi sedang menghadapi kemelut domestik. Ditambah lagi dengan masih rawannya posisi militer Cina di perbatasan selatan yang berhadapan dengan Vietnam. Tidak hanya itu. Deng Xioping kini sedang dalam posisi defensif menghadapi arus balik konservatisme, sedangkan Gandi direpotkan masalah kaum Sikh dan pertentangannya dengan Presiden Zail Singh. Adapun ricuh perbatasan pekan lalu itu masih merupakan buntut perang perbatasan: Cina-India 15 tahun yang silam. Wilayah yang dipertentangkan meliputi tiga kawasan di pegunungan Himalaya, yakni sektor Aksai Chin, sektor tengah dekat Kota Barahoti, dan sektor timur Negara Bagian Arumchal Pradesh. Ketegangan akhir-akhir ini berkembang di kawasan timur, terutama di lembah Sumdorong Chu. Walaupun para pengamat tidak yakin perang akan pecah, ada beberapa faktor yan justru mendorong ke arah itu. Kesulitan dalam negeri di India dan RRC, misalnya jika bercermin pada sejarah, maka terlihat banyak avonturisme internasional justru ditempuh untuk menyelesaikan konflik domestik. Ketakmampuan Deng atau Gandhi untuk menyelesaikan kemelut dalam negerinya akan menyeret kedua negara ke kancah peperangan . RRC boleh jadi akan menggunakan kesempatan dalam 'kesempitan' yang kini menjepit Raji Gandhi. Paling tidak untuk memperbaiki posis berundingnya. Tambahan lagi, sudah menjadi kebiasaan bagi Cina untuk menggunakan juru "madu dan racun" sebagai taktik berunding artinya, ia akan memberi konsesi kalau berada dalam posisi lemah dan akan bersikap keras kala sedang berjaya dalam posisi menguntungkan. Dipandang dari pihak India sendiri, kali ini secara militer ia lebih siap. Pasukannya yang beroperasi di perbatasan dengan RRC diper lengkapi dengan senjata mutakhir dan perlengkapan musim dingin yang jauh lebih baik ketimbang konflik perbatasan 196 dulu. Dalam pada itu, angkatan udaranya pun jauh lebih unggul. Pokoknya, sekarang India jauh lebih siap. Tapi, di samping kepercayaan diri yang lebih besar itu, ada hal lain yang cukup mengkhawatirkan New Delhi. Dewasa ini terlihat kecenderungan hubungar RRC--Uni Soviet membaik. Gejala seperti itu membuat India sedikit ragu. Mengapa Andai kata perang pecah, dukungan Soviet pada India mungkin tidak semantap sokongannya pada tahun 1962. Atau lebih buruk lagi, siapa tahu Moskow akan bersikap netral. Dalam persenjataan pun, sekarang ini India masih sangat bergantung kepada bantuan Moskow. Dalam konteks ini, netralisme Uni Soviet tak dapat tidak akan memompa semangat petualangan Cina. A. Dahana, Laporan kantor-kantor berita