Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIAPAKAH bintang televisi terbaru di Singapura? Jawabannya: Joshua Benyamin Jeyaretnam, 60. Pekan lalu, wajahnya yang kehitam-hitaman dengan rambut dan cambang memutih itu setiap malam muncul dalam acara Today in Parliament, programa khusus stasiun televisi Singapura yang menyiarkan kegiatan para wakil rakyat. Sebagai anggota parlemen sejak 1972 dari daerah pemilihan Anson, Jeya atau JBJ begitu kalangan dekat memanggilnya dianggap telah menghina kehormatan lembaga peradilan. Karena itu, parlemen Singapura membentuk Komisi Hak-Hak Istimewa beranggota delapan orang khusus untuk memeriksa tuduhan tersebut. Jumat pekan lalu, komisi tersebut sepakat menunda persidangan mereka hingga bulan depan, menunggu sampai pengadilan tinggi memutuskan perkara banding Sekjen Partai Buruh itu yang menyangkut soal penggelapan uang partai. Kasus ini bermula dari ucapan JBJ di parlemen, awal tahun ini, yang menuduh pihak penguasa telah mencampuri kedaulatan pengadilan. Menurut Jeya, Hakim Michael Khoo, dan beberapa hakim lainnya yang pernah mengadili perkaranya, dinilai pemerintah cenderung memberikan keputusan yang menguntungkan bagi JBJ. Karena itu, dengan berbagai upaya, pihak penguasa memindahkan mereka. Padahal, seperti kata JBJ, mereka mempunyai peluang untuk dipromosikan sebagai hakim di pengadilan tinggi. Inilah yang disebut JBJ campur tangan pemerintah dalam urusan yudikatif. Akibat tuduhannya ini, Jeya berbalik dituduh menghina kehormatan lembaga peradilan. Di depan sidang Komite Hak-Hak Istimewa tersebut, PM Lee Kuan Yew menangkis tuduhan tersebut. Sambil menyebut empat nama sebagai misal -- di antaranya JBJ sendiri -- ia berdalih bahwa tidak sema hakim pengadilan negeri mempunyai kesempatan tersebut. Sejauh ini tuduhan JBJ, duda berputra dua, tersebut memang belum terbukti kendati ia menyodorkan sembilan saksi. Pekan lalu, dalam persidangan ia mengakui "tidak punya bukti" untuk mendukung tuduhannya. Jika nantinya komisi menyimpulkan bahwa tuduhannya itu tak terbukti, berdasarkan UU Hak-Hak Istimewa, Kekebalan dan Kekuasaan, yang baru di amandemen tiga minggu lalu, keanggotaan JBJ di parlemen bisa dicopot. Kebanyakan pengamat politik menandai persidangan parlemen Singapura kali ini sebagai isyarat bagi pihak oposisi untuk lebih berhati-hati jika mereka masih ingin menyuarakan aspirasi mereka. Di negeri multirasial berpenduduk 2,5 juta ini memang masih tersedia tempat bagi kaum oposan. Namun, seperti kata Deputi Perdana Menteri I Goh Chok Tong di Fletcher School of Law and Diplomacy, Amerika, tahun lalu, "Sistem demokrasi dua partai sama sekali tak cocok bagi Singapura." Menurut dia, sistem yang terbaik adalah, "Sebuah partai besar yang didampingi oleh beberapa partai kecil lainnya." Keinginan tersebut jelas merupakan dambaan Partai Aksi Rakyat (PAP), partai pemerintah yang telah menguasai Singapura selama 27 tahun. Kalau begitu, di manakah tempat oposisi dalam percaturan politik Singapura? Dalam sebuah wawancaranya dengan majalah Asiaweek, tiga bulan silam, Menteri Dalam Negeri Prof. S. Jayakumar menggariskan bahwa mereka sebaiknya "memerankan diri sebagai penyedia kebijaksanaan alternatif bagi pemerintah." Saat ini ada 20 partai oposisi yang terdaftar. Namun, dari tujuh yang aktif dalam pemilu dua tahun lalu, selain JBJ, hanya Chiam See Tong dari Partai Demokratik Singapura (SDP) yang berhasil menempatkan diri di parlemen beranggotakan 79 orang itu. Sebetulnya im merupakan 'kemajuan', sebab sebelum 1984 cuma Jeya satu-satunya wakil oposisi dalam parlemen. Sisanya diborong PAP. Sementara itu, SDP sendiri makin kehilangan pengaruh dengan hengkang-nya beberapa tokoh utamanya, belum lama berselang. Mereka kemudian mendirikan Partai Solidaritas Singapura (SSP) bersama-sama dengan beberapa orang bekas anggota parlemen dari PAP. Kendati begitu, nasib partai baru ini, seperti halnya partai-partai gurem lainnya, belum bisa banyak diharapkan untuk bisa menyemarakkan arena politik. James R. Lapian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo