KEKERASAN yang digunakan tentara Israel untuk meredam huru-hara di Jalur Gaza dan Tepi Barat, selama sebelas minggu, berbalik memukul mereka. Hasil sebuah penelitian di kalangan militer Israel, yang diumumkan Kepala Bagian Psikologi Angkatan Darat Israel, Kolonel Shlomo Dover, Senin pekan lalu mengungkapkan bahwa 70% tentara Israel merasa frustrasi menghadapi aksi-aksi rakyat di daerah pendudukan itu. Mereka bahkan menyebut perlawanan warga Arab Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat itu meninggalkan bekas paling dalam di antara sejumlah tugas yang pernah mereka jalani. Menurut Dover, sikap brutal dan sadistis militer Israel dalam mematahkan perlawanan rakyat di kedua daerah pendudukan itu bukan saja menjadi trauma pada bangsa Palestina, tapi juga meninggalkan pukulan batin pada pasukan tersebut. Ada semacam ketakutan di kalangan tentara Israel mengenai kemungkinan pembalasan dari orangorang Palestina atas diri mereka setelah kembali ke kehidupan sipil lagi. Siapakah tokoh di balik perintah perlakuan sadistis terhadap demonstran di kedua daerah pendudukan Israel itu? Dialah Menteri Pertahanan Yitzhak Rabin. Seperti diketahui, Januari lalu Rabin secara resmi memerintahkan "penggunaan kekerasan dan segala cara" untuk memadamkan pergolakan di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Pasukan Israel yang bertugas di kedua wilayah pendudukan itu, kabarnya, diperintahkan untuk memusnahkan harta rakyat, serta mematahkan tangan dan kaki mereka yang terlibat aksi huru-hara. Akibat kebrutalan itu, sampai pekan lalu, tercatat 77 nyawa melayang. Aksi sadistis militer Israel terhadap bangsa Palestina sebenarnya sudah lama dicium dunia internasional. Tapi penciuman mereka, terutama negara-negara Barat, dapat diredam media massa Israel. Negara-negara Barat, yang sangat pro-Israel, baru terkesima setelah media massa mereka menyiarkan perlakuan tentara pendudukan yang tak mengenal peri kemanusiaan terhadap rakyat Palestina. Kabar tentang penguburan hidup-hidup terhadap demonstran Palestina dan penyiksaan brutal lainnya, yang selama ini dibantah Israel, baru mereka yakini sebagai hal yang benar setelah media massa mereka ikut menyiarkannya. Maka, gelombang protes terhadap aksi kekerasan tentara Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat pun bermunculan di Eropa Barat dan Amerika Utara. Bahkan orang Yahudi perantauan, setelah melihat gambar-gambar tentara Israel menyiksa demonstran yang tertangkap, yang disiarkan oleh jaringan televisi Amerika Serikat, CBS, ke seluruh dunia, ikut mengecam keras kebijaksanaan pemerintahan Perdana Menteri Yitzhak Shamir atas rakyat di kedua daerah pendudukan itu. Ahad lalu, rekaman televisi CBS itu, dengan masa putar 40 menit, dipertunjukkan kepada perwira-perwira senior Israel di wilayah pendudukan. Mayor Jenderal Amram Mitzna, yang tak setuju pada aksi kekerasan, memaksa perwira-perwira bawahannya untuk menontonnya. Rekaman CBS yang membuat geram banyak orang, termasuk beberapa anak buah Mitzna, adalah ketika sejumlah tentara Israel berusaha memotong lengan seorang pemuda Palestina dengan batu. Salah seorang pelaku tindakan sadistis itu adalah Sersan Saguy Harpaz. Ibu kandung Harpaz mengatakan bahwa anaknya sebagai "korban perintah ambisius" pemerintah. "Semula saya berharap, anak saya itu akan terangkat martabatnya dengan menjadi tentara yang bersikap melindungi dan mengayomi rakyat. Ternyata, yang terjadi sebaliknya. Ia malah menjadi tukang pukul, bahkan terhadap wanita dan anak-anak," kata ibu bintara itu dalam sebuah wawancara radio. Ibu Harpaz mewakili mereka yang tak setuju atas penggunaan kekerasan untuk meredam huru-hara. Penentang-penentang aksi kekerasan di Jalur Gaza dan Tepi Barat di kalangan warga Israel itu menuntut pemerintahan Shamir "berunding" dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) - hal yang dulu tabu dibicarakan dalam masyarakat luas. "Keinginan berdirinya pemerintah lokal yang tak mencakup PLO dan kelompok moderat Palestina adalah ilusi saja," kata Profesor Yehoshafat Harkabi, pakar ilmu sejarah di Hebrew University, Yerusalem. Keinginan sebagian warga Israel itu telah menimbulkan perdebatan hangat dalam pemerintah koalisi Buruh - Likud, yang kini dipimpin Shamir. Kelompok sayap kanan bahkan memaksa pemerintah mengusir wartawan-wartawan asing dari Talur Gaza dan Tepi Barat. Kehadiran media massa asing, kata mereka, akan membuat huru-hara makin marak. Keinginan itu ditolak keras oleh kelompok Partai Buruh, yang dipimpin Menteri Luar Negeri Shimon Peres. "Masalahnya bukan soal rekaman itu, tapi apa sebenarnya yang terjadi di kawasan tersebut," kata Menteri Imigrasi Yaacov Tsur, pendukung Peres. Kelompok oposisi lain di Parlemen bahkan menuntut Rabin diajukan ke meja hijau. "Dialah yang pertama harus diadili, karena mengeluarkan kebiaksanaan semacam itu dan membuat bingung militer dengan perintah ganda yang tak jelas," kata Yossi Sarid, tokoh sayap kiri di Parlemen. Farida Sendjaja, kantor-kantor berita