Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERSERIKATAN Bangsa-Bangsa mengecam serangan Israel ke Jenin, Palestina, baru-baru ini. “Serangan udara dan operasi darat Israel di kamp pengungsi yang padat adalah kekerasan terburuk di Tepi Barat dalam beberapa tahun,” kata António Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, dalam pernyataannya pada Kamis, 6 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangan tentara Israel tersebut melibatkan penggunaan serangan udara dan rudal yang ditembakkan dari drone. Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, 12 orang, termasuk tiga anak, tewas akibat serangan itu. Sedikitnya 120 orang terluka, termasuk 20 orang dalam kondisi kritis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baku tembak pecah antara pasukan Israel dan kelompok militan Palestina. Beberapa jalan rusak dan banyak bangunan hancur. Sedikitnya 3.000 orang terpaksa mengungsi. “Dampak serangan ini signifikan terhadap warga sipil,” ucap Guterres.
Operasi Israel ini adalah tanggapan atas serangkaian serangan mematikan yang banyak berasal dari Jenin dan sekitarnya. Tentara Israel mengatakan bahwa 12 korban Palestina yang tewas adalah kombatan dan sebagian besar tergolong "anggota kelompok teror".
PRANCIS
Kerusuhan Mulai Reda
KERUSUHAN di Prancis yang pecah sejak pertengahan pekan lalu mulai mereda. Namun Presiden Prancis Emmanuel Macron tetap meminta Kementerian Dalam Negeri mempertahankan kehadiran polisi secara besar-besaran di jalanan. Sekitar 45 ribu polisi diterjunkan untuk menanggulangi kerusuhan massal di berbagai kota itu sepanjang akhir pekan lalu.
Kerusuhan ini dipicu kematian Nahel M., remaja 17 tahun keturunan Algeria dan Maroko. Dia tewas ditembak polisi pada Selasa, 27 Juni lalu, di Nanterre, pinggiran Paris, saat dihentikan polisi yang hendak memeriksanya.
Akhir pekan lalu, keluarga Nahel menyerukan agar kekerasan segera diakhiri. Nenek Nahel menuduh para perusuh menggunakan kematian Nahel sebagai alasan dan mendesak mereka berhenti merusak barang-barang publik. "Kami tidak meminta untuk merusak atau mencuri. Semua ini bukan untuk Nahel," ujar kerabat Nahel kepada BBC, Selasa, 4 Juli lalu.
Kerusuhan ini juga terjadi karena protes lama masyarakat terhadap kekerasan dan rasisme polisi, khususnya terhadap penduduk beragam ras dan berpendapatan rendah. Keluarga Nahel menyerukan agar pemerintah meninjau aturan izin penggunaan senjata api oleh polisi terhadap orang yang menolak disetop di jalan.
SWEDIA
Greta Thunberg Didakwa dalam Kasus Pelabuhan Minyak
Greta Thunberg saat akan dipindahkan polisi karena menutup pintu masuk pintu masuk ke Oljehamnen di Malmo, Swedia, 19 Juni 2023. Kantor Berita TT/Johan Nilsson via REUTERS/File Foto
AKTIVIS iklim Swedia, Greta Thunberg, akan disidang pada bulan ini karena dituduh tidak mematuhi perintah polisi dalam demonstrasi pada Juni lalu. Gadis 20 tahun itu bergabung bersama sekelompok pengunjuk rasa yang dipimpin grup Ta Tillbaka Framtiden (Mengklaim Kembali Masa Depan) menahan perjalanan kapal tanker minyak di sebuah pelabuhan di Malmö, Swedia, selama enam hari pada Juni lalu. Saat itu beberapa demonstran bahkan naik ke atas tanker minyak. "Krisis iklim sudah menjadi masalah hidup dan mati bagi banyak orang," tulis Thunberg di akun Instagram-nya saat protes berlangsung.
Menurut Otoritas Kejaksaan Swedia, Thunberg menolak mematuhi perintah polisi untuk meninggalkan tempat kejadian. "Jaksa penuntut telah mengajukan dakwaan terhadap seorang perempuan muda yang pada 19 Juni tahun ini ikut serta dalam demonstrasi iklim yang, menurut kejaksaan, menyebabkan gangguan lalu lintas di Malmö," kata mereka. Thunberg menghadapi ancaman hukuman penjara enam bulan atau denda dalam kasus semacam ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo