Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Internasional

Setelah Banjir Libya, Ranjau-ranjau yang Belum Meledak Jadi Ancaman Baru

Arus banjir Libya menghanyutkan ranjau-ranjau ini ke tempat baru dan masih ada potensi untuk meledak.

22 September 2023 | 08.00 WIB

Seorang pejuang anti-Gaddafi menunjukkan ranjau antitank yang dijinakkan oleh kelompok tersebut di Brega. Asmaa Waguih/Reuters
Perbesar
Seorang pejuang anti-Gaddafi menunjukkan ranjau antitank yang dijinakkan oleh kelompok tersebut di Brega. Asmaa Waguih/Reuters

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pekan lalu, Badai Daniel menghantam Libya, mendatangkan malapetaka di kota Derna di bagian timur, tempat dua bendungan tua yang terbengkalai jebol di hulu, melepaskan sekitar 30 juta meter kubik (8 miliar galon) air, dan melenyapkan seluruh lingkungan di kota tersebut, rumah bagi sekitar 100.000 orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Namun krisis mematikan kemungkinan masih berlanjut, karena organisasi-organisasi kemanusiaan mengeluarkan peringatan kritis bahwa banjir Libya mungkin telah menyingkap ranjau darat yang belum meledak dan senjata-senjata lain yang tertinggal dari perang di negara tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejarah yang eksplosif

Libya, negara berpenduduk tujuh juta orang, memiliki perpecahan politik yang mendalam. Negara ini tidak punya pemerintahan pusat yang kuat dan sering terlibat konflik sejak revolusi menggulingkan penguasa lama Muammar Gaddafi pada 2011.

Sejak itu, persenjataan besar-besaran di negara ini bebas untuk dijarah, dengan puluhan bunker yang terletak di lingkungan pemukiman dan lokasi tidak aman lainnya tidak dijaga sama sekali. Sumber anonim yang mengetahui persenjataan Libya mengatakan kepada Al Jazeera bahwa dua depot, khususnya, menjadi sasaran kelompok bersenjata. Satu, yang dikenal sebagai Rumah Penyimpanan 3 menyimpan bahan peledak plastik Semtex, dan yang lainnya, yang dikenal sebagai Rumah Penyimpanan 5 menyimpan rudal antipesawat.

“Tiba-tiba, semua jenis kelompok [di Libya] menggunakan senjata tingkat militer,” katanya, yang merupakan tantangan besar bagi Dewan Transisi Nasional (NTC) di negara tersebut ketika mereka berjuang untuk menegakkan ketertiban pasca-2011.

Keadaan memburuk ketika negara kaya minyak ini terpecah menjadi dua pemerintahan yang saling bersaing di wilayah timur dan barat pada 2014, pemerintahan yang diakui PBB di ibu kota, Tripoli, dan pemerintahan yang berbasis di wilayah timur yang kini dilanda bencana, dan konflik pun dimulai antara kedua pemerintahan di negara itu.

Dalam laporan yang diterbitkan oleh Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), tercatat peningkatan drastis jumlah kecelakaan ranjau darat dan persenjataan yang tidak meledak (UXO) sejak permusuhan pascaperang berhenti pada paruh kedua 2020.

Pada 2022, diperkirakan terdapat 100.000 ton amunisi di bawah reruntuhan di beberapa wilayah Libya, termasuk Sirte, Tawergha, Derna dan Benghazi, wilayah yang semuanya terkena dampak konflik selama dekade sebelumnya, tambah OCHA.

Menurut Pusat Pekerjaan Ranjau Libya (LibMAC), 162 kecelakaan ranjau dan sisa bahan peledak Perang (ERW) dilaporkan di seluruh Libya dari Mei 2020 hingga Maret 2022, mengakibatkan total 329 korban jiwa – 132 tewas dan 197 luka-luka – 76 persen di antaranya adalah warga sipil.

Memetakan bahan peledak

Biasanya, catatan informasi mengenai lokasi bahan peledak disimpan pemerintah dan otoritas nasional. Namun, Libya masih terpecah secara administratif, gudang nasional tidak sepenuhnya mampu menyimpan informasi tersebut.

Kepala unit kontaminasi senjata di Komite Palang Merah Internasional (ICRC), Erik Tollefson, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa persenjataan yang belum meledak dan gudang amunisi yang tertinggal di daerah tersebut, khususnya di kota Derna, adalah yang paling terkena terdampak banjir, telah berpindah lokasi setelah kedua bendungan jebol dan membanjiri daerah tersebut.

Dengan menggunakan informasi yang dikumpulkan dari lokasi kontaminasi sebelum banjir, ICRC membangun model Sistem Informasi Geografis (GIS) untuk menghitung kecepatan, tinggi dan lebar aliran deras dalam upaya memetakan area yang diduga terkontaminasi senjata – informasi yang akan, pada gilirannya, disampaikan kepada pihak yang berwenang.

“Sekarang, kami telah berpindah dari lokasi yang kami tahu sebelumnya ke area baru,” kata Tollefson. “Jadi bisa saja ranjau-ranjau itu tersangkut di lumpur, di gedung, di reruntuhan, dan tentu saja ada yang tersapu ke laut.”

Risiko saat ini

Karena kesadaran akan kontaminasi senjata belum tersebar luas, bahkan di wilayah konflik, kepercayaan umum adalah bahwa bom yang tidak meledak dan hanyut oleh arus air tidak berbahaya. Hal itu tidak benar, kata Tollefson.

“Justru sebaliknya, mereka sering kali menjadi semakin sensitif terhadap gerakan, sentuhan, terhadap seseorang yang memukulnya,” jelasnya, seraya mengatakan bahwa “lebih mudah meledak jika ditangani setelahnya”.

Sebagai dampak tragis dari banjir tersebut, ketika para penyintas dan penyelamat mati-matian mencari korban dan mengeluarkan mayat-mayat dari bawah reruntuhan dan laut, organisasi penyelamat dan hak asasi manusia khawatir bahwa akan ada lebih banyak korban jiwa – sebuah bencana lain yang Libya tidak punya kapasitas untuk menahannya.

AL JAZEERA

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus