Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pertempuran selama 11 hari, sejak 10 Mei 2021, antara Palestina dan Israel menghancurkan ribuan bangunan, baik hunian maupun lokasi usaha. Salah satunya adalah toko buku milik Shaban Esleem yang berlokasi di Gaza.
Dikutip dari kantor berita Reuters, Esleem tahu bahwa toko bukunya tak akan selamat begitu milisi Palestina (Hamas) mulai bertempur dengan Israel. Namun, ia optimistis dirinya bisa membangun ulang tokonya begitu situasi mereda. Perkara dananya dari mana, ia berkata ada banyak jalan.
Salah satu jalan yang dipakai Esleem adalah Crowdfunding. Mengandalkan platform GoFundMe, yang biasa dipakai untuk menggalang dana publik, Esleem membuka laman donasi untuk warga yang ingin membantunya. Sejauh ini, kata Esleem, laman donasinya sudah mengumpulkan US$130 ribu (Rp1,8 miliar) untuk restorasi tokonya yang juga merangkap percetakan.
"Namun, saya belum bisa menerima sepeserpun dari sana dan mungkin agak sulit untuk pengiriman ke wilayah Gaza," ujar Esleem perihal kemungkinan blokade bantuan oleh Israel menghalangi upayanya, Selasa, 25 Mei 2021.
Meski Esleem belum mendapatkan uang yang ia butuhkan, ia berkata rencana restorasi toko bukunya tidak akan berubah. Ia akan tetap memulainya dari nol dan berharap tokonya, yang menjual buku-buku berbahasa Arab dan asing, memiliki kesempatan untuk tumbuh.Warga Gaza, Shaban Esleem, merapihkan sisa-sisa toko buku dan percetakan miliknya yang hancur akibat pertempuran 11 hari Israel dan Palestina. Tokonya menjual buku-buku berbahasa Arab dan bahasa asing (Sumber: Reuters/ Ibraheem Abu Mustafa)
Berbeda dengan Esleem, Ramadan El-Njaily belum bisa bangkit sejak gencatan senjata antara Israel dan Palestina dicapai. Ia, yang juga pemilik toko buku dan percetakan di Gaza, pesimistis bakal bisa membangun kembali tokonya.
Ia sendiri kehilangan lebih dari toko buku. El-Njaily berkata, ia juga kehilangan rumah karena apartemennya menjadi sasaran roket Israel. Sekarang, dirinya hidup secara nomaden, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dalam kondisi seperti itu, ia pesimistis bisa membangun toko buku dan percetakannya lagi.
"Roya Print-House. Kami dulu memiliki mimpi di sini, mereka (Israel) menghancurkannya," ujar El-Njaily, menuliskan kesedihannya di palang yang ia berdirikan di reruntuhan tokonya.
Menurut perhitungan pemerintah setempat, kurang lebih ada 16.800 bangunan yang rusak di Gaza akibat serangan Israel. Sebanyak 1.800 di antaranya tak lagi bisa ditinggali dan 1000 bangunan dalam kondisi hancur total.Warga Palestina berada dalam tenda darurat di tengah puing-puing rumah mereka yang dihancurkan oleh serangan udara Israel selama pertempuran Israel-Hamas di Gaza 23 Mei 2021. Perumahan Gaza mengatakan bahwa 1.800 unit rumah sudah tidak layak huni dan 1.000 unit sudah hancur. REUTERS/Mohammed Salem
Selain bangunan, infrastruktur penunjang seperi listrik dan jaringan air bersih pun rusak parah. Jika kerusakan tersebut dihitung bersama bangunan-bangunan yang hancur, pemerintah Gaza memperkirakan nilai kerugian yang mereka hadapi mencapai ratusan juta Dollar AS.
Dengan kerusakan parah yang ditinggalkan, restorasi"peradaban" di sana menjadi PR warga di Gaza dan pemerintah setempat. Hal tersebut bukan hal baru bagi mereka. Sejak Gaza diambil alih Hamas pada 2007, sudah empat kali kawasan tersebut menjadi lokasi pertempuran besar. Namun, siapa yang akan menanggung beban restorasi selalu menjadi pertanyaan besar.
Israel selama ini tidak mau ikut bertanggung jawab. Mereka mengklaim segala serangan yang mereka lakukan legal, termasuk yang menghancurkan permukiman sekalipun. Sementara itu, Pemerintah Palestina belum menuntaskan bantuan pembangunan atas dampak peperangan di tahun 2014. Alhasil, warga di Gaza banyak yang pesimis dengan rencana-rencana pembangunan ulang atau restorasi.
Baca juga: Amerika Janji Bantu Pembangunan Ulang di Gaza
ISTMAN MP | REUTERS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini