Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Investigasi

Berita Tempo Plus

Kesaksian Para Pendukung Megawati

25 Juli 1999 | 00.00 WIB

Kesaksian Para Pendukung Megawati
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

ALBERT BIRHAN
(Pelaksana Harian Posko Pemuda dan Mahasiswa, mantan pegawai Astra Motor, kini 36 tahun) Saat subuh, saya mendengar Agung Iman Sumanto (Komandan Satgas), yang seharusnya menjadi "panglima perang", menepuk pundak Dimyanus, aktivis dari Universitas Kristen Indonesia, sembari menyarankan untuk beristirahat karena tak akan ada penyerbuan. Pengkhianat dia itu. Rasanya, Agung-lah yang membuka blokir jalan yang kami siapkan. (Setelah peristiwa ini, Agung sempat diincar berbulan-bulan untuk dihabisi Albert dan kawan-kawan. Namun, karena Agung selalu mendekam di rumah Mega, rencana ini tak pernah terwujud. Kini, Agung calon anggota DPRD Jakarta dari PDI Perjuangan—Red). Lalu, pada pukul enam, datanglah orang-orang kekar yang turun dari delapan truk pasir. Mereka biadab sekali. Anak-anak kecil, juga perempuan yang berada di trotoar depan, mereka sikat dengan rotan sepanjang 60 sentimeter. Setelah negosiasi gagal, para penyerbu itu melepas kaus mereka. Dan ternyata mereka berseragam Brimob. Mereka juga sudah siap dengan tas yang ditenteng. Saya kemudian melihat Alex Widya Siregar dan Buttu Hutapea memberi komando menyerang. Sesaat kemudian, pasukan Brimob berseragam lengkap, dengan helm dan tameng satu badan, menyerang masuk. Ketika itu posisi saya sudah di atas Gedung DPP PDI. Saya memerangi mereka dengan genting-genting yang ada. Saya copot genting-genting itu dan saya lemparkan ke pasukan yang menyerang masuk. Tapi kemudian saya tidak bisa berbuat apa-apa karena di atas gedung itu sudah ada aparat berseragam hitam-hitam yang menodong saya dengan senjata mereka. Nah, setelah pasukan Brimob masuk, mereka diikuti oleh sekelompok pemuda brutal di bawah komando Bram Raweyai (adik Yorrys Raweyai—Red). Sebetulnya saya masih punya tugas yang tersisa, yaitu membumihanguskan kantor DPP itu. Ada kawan dari Irian yang muncul dari lubang dengan membawa satu jerigen minyak. Saya kemudian membuka genting, agar bisa membakarnya. Tapi, saya tidak jadi membakar gedung itu karena sadar banyak kawan yang ada di dalam gedung. Sekitar pukul satu siang, karena penasaran, saya masuk kembali ke halaman belakang. Saya tidak melihat apa-apa, hanya halaman yang kosong dengan tembok yang penuh darah. Saya melihat dengan mata kepala sendiri bahwa tembok itu penuh dengan darah, meskipun sudah diusahakan untuk disemprot dengan mobil pemadam kebakaran. Saya tidak melihat langsung. Tapi, menurut teman yang masih di dalam, kebanyakan yang meninggal adalah yang berada di ruang ketua umum dan ruang rapat. Mereka dihajar habis-habisan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus