Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rini M.S. Soewandi Kemelut imbal-beli pesawat Sukhoi bermula dari sepucuk surat yang dikirim Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soewandi kepada Menteri Keuangan Boediono dan Ketua Bappenas Kwik Kian Gie, 7 April lalu. Dalam surat No. 267/MPP/IV/2003 itu disebutkan, untuk mengantisipasi turunnya ekspor tahun 2003-2004, pemerintah perlu mengambil langkah inkonvensional, misalnya membuka pasar Eropa Timur. Sebagai langkah pertama, dipilih Rusia. Untuk itu pemerintah akan membeli komoditas ekspor (misalnya CPO, tekstil, dan teh) dan menukarnya dengan peralatan militer Rusia, yakni pesawat Sukhoi dan heli Mi. Untuk membiayai imbal dagang itu, dibutuhkan dana khusus US$ 175 juta. Rini usul agar duit itu diambil dari APBN 2003 dan 2004. Surat tersebut diteken Menteri Rini dan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto Menariknya, surat itu hanya ditembuskan kepada Presiden dan Panitia Anggaran DPR. Kwik mengaku heran atas isi surat itu. Sebab, menurut Pasal 16 Ayat (6) Undang-Undang No. 3/2002, yang berhak mengajukan pembelian Sukhoi dalam anggaran adalah Menteri Pertahanan, bukan Rini. Lewat surat balasan yang dikirim 17 April lalu, secara halus Kwik menolak permintaan Rini. Dalam alinea ketiga surat No. 1776/M.PPN/04/2003 tertulis: "...Oleh karena itu, rencana pembelian Sukhoi dan heli dari Rusia perlu dipertimbangkan kembali." Mahfud Md., eks Menteri Pertahanan di era Gus Dur, mendukung Kwik. Katanya, "Setiap pengadaan alat pertahanan memang harus lewat Departemen Pertahanan." Sikap Menteri Boediono juga setali tiga uang. Lewat surat No. S156/MK.02/2003, tanggal 21 April lalu, disebutkan rencana pembelian Sukhoi itu tak ada dalam APBN 2003. Selain itu, Boediono menyoroti sistem imbal beli Sukhoi. Alasannya, sistem ini sering menambah beban biaya. Di mata Fuad Bawazier, eks Menteri Keuangan di zaman Soeharto, langkah Menteri Rini dalam imbal beli Sukhoi dinilai salah karena Rini "menabrak" empat peraturan sekaligus, yakni melanggar Undang-Undang No. 3/2002, Undang-Undang Pengelolaan Negara, APBN, serta membuat perjanjian dengan asing tanpa persetujuan DPR. Menghadapi berbagai tentangan itu, pada 14 April yang lalu Rini menerbitkan surat No. 281/MPP/IV/2003. Ia menugasi Widjanarko Puspoyo, Direktur Utama Perum Bulog, mewakili pemerintah dalam negosiasi dengan Rusia dalam hal imbal beli Sukhoi. Widjan sendiri tak menyangka negosiasi itu bakal cepat berlangsung. "Saya cuma pakai jaket kulit saat dipanggil Bu Rini, karena tak menyangka langsung negosiasi soal harga dengan Rusia," katanya. Pilihan Rini tak meleset. Setelah bernegosiasi tiga hari, perjanjian imbal beli Sukhoi diteken. Toh, sukses "tim Sukhoi" di Rusia mendapat ujian saat kembali ke Tanah Air karena sejumlah kalangan, termasuk DPR, mempersoalkan pembelian Sukhoi. Menteri Rini dengan tegas mengatakan, "Keputusan imbal beli pesawat Sukhoi ini berasal dari Presiden." Tentang alasan menunjuk Perum Bulog, bekas Presiden Direktur Astra International itu menjelaskan bahwa Bulog cukup berpengalaman dalam imbal beli. Mengenai tuduhan menabrak aturan dalam pembelian Sukhoi, Rini menangkisnya. "Jangan lihat satu sisi dong. Imbal beli ini kan esensinya untuk mendobrak pasar Rusia. Kebetulan waktunya pas. Ya sudah, sekalian," katanya kepada pers beberapa waktu lalu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo