Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIAPAKAH Abu Nawas? Di waktu kecil dulu, kita mengenalnya sebagai badut. Atau, setidaknya, seorang cerdik yang pintar melepaskan diri dari teka-teki tersukar. Di waktu kecil dulu, kita memandangnya sebagai tokoh yang tak senus: penghuni yang diperlukan untuk ditertawakan dalam zaman Baginda Harun Al-Rasyid. Tiga puluh tahun setelah saya membaca pertama kalinya kisah jenaka Abu Nawas, saya bersua dengan patung itu di tepi Sungai Tigris. Tingginya hampir 3 meter. Terbuat dari logam. Tak teramat bagus, seperti banyak pahatan yang dibuat orang di Baghdad abad ini. Pagi itu saya berjalan sepanjang sungai tua itu, yang lebar dan berombak, mencoba mencari sisa sejarah yang besar. Saya tak mendapatkannya. Di sudut sini kapal-kapal pesiar yang modern, sesekali dihinggapi camar. Di sisi sana jembatan panjang baja. Semua karya mutakhir. Bahkan patung itu pun hanya sebuah usaha sia-sia untuk menangkap jejak sejarah yang luput dari kita. Di patung itu nama itu bukan "Abu Nawas". Melainkan -- saya coba ingat kembali "Abu Nuwas". Dia bukan badut. Dia seorang pujangga. Lahir di Ahaz, Iran, di abad ke-8. Meninggal di Baghdad, awal abad ke-9. Waktu itu, begitulah terpikir oleh saya, di Indonesia Majapahit belum lahir. Bagaimana kemasyhuran Abu Nuwas, sang penyair dari Baghdad, melintasi waktu dan jarak yang amat panjang ke Indonesia, dan menjadi Abu Nawas, sang jenaka? Saya tak tahu. Barangkali dalam lingkungan sosial kita di sini, dengan adab dan tata susunan masyarakat kita, seorang penyair seperti Abu Nuwas hanya sesuatu yang menggelikan. Abu Nuwas memang bisa menimbulkan kesan itu, bagi mereka yang menganggap hidup hanya ketertiban, kepatuhan, keselarasan. Seorang penulis pernah menyinggung bagaimana posisinya dalam searah kesusastraan Arab lama: Abu Nuwas membuka jalan baru, dengan sajak-sajak yang mabuk anggur, khamriyyat, dan bisa dianggap sebagai tokoh modern, dengan kebebasan penggunaan bahasanya, dengan ironi dan humornya, dengan pandangannya yang mencemooh -- tapi ramah -- pada hidup. Tidakkah kau saksikan. Kugadaikan sukmaku dengan minuman? Dalam banyak hal, agaknya ia seperti Li Taipo -- penyair Cina lama yang bersajak dengan dan untuk anggur di gelas. Dalam beberapa hal ia juga seperti penyair Persia Umar Khayyam, yang rubayat-nya pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Indonesia dengan mengagumkan. Hidup harus direguk sekarang, demikianlah pesannya, karena waktu lalu dan dunia hanya sebentar. "Lantaran aku tahu dan takut," tulis Abu Nuwas sebagaimana diperkenalkan oleh R.A. Nicholson, "dari jasadku ini, ruhku akan terenggut." Memang ada kekurangajaran di situ. Ada kesan bahwa Abu Nuwas memang sengaja mengagetkan para pendengarnya, menjotos mereka dengan sajak-sajak nyaris skandal, mengatakan hal yang dienggani oleh mereka yang sopan dan saleh. Kita sendiri tak tahu pasti adakah Abu Nuwas seorang yang saleh. Tapi mungkin sekali ia ingin mengguncangkan apa yang tampaknya rap dan tertib, tapi di dalamnya tak ada gairah, tak ada kehidupan -- juga dalam beriman. Mungkin bukan kebetulan, bila orang menyebut, bahwa penerus Abu Nuwas adalah para penyair Sufi: mereka yang melagukan nikmatnya "anggur" dalam "mabuk cinta" dengan Tuhan. Kemabukan, baik harfiah maupun hanya sebagai kiasan, memang menentang hukumhukum. Atau setidaknya menyimpang dari sana. Mungkin sebab itulah nama Abu Nuwas kemudian -- di negeri lain yang jauh -- dihubungkan dengan badut-badutan, sesuatu yang "nyentrik". Yang sebenarnya layak dipikirkan ialah kenapa tokoh seperti ini di Baghdad dalam abad ke-9 itu, tidak dibungkam. Mungkin karena Baghdad di zaman itu adalah kota dengan penuh kepercayaan diri: terbuka untuk hampir setiap pikiran dan eksperimen, untuk pencarian dan pertanyaan baru. Kita ingat sebuah cerita tentang mimpi Khalif al-Ma'mun. Dalam mimpi di abad ke-9 itu, pada suatu malam, seorang tua botak bermata biru datang kepadanya. "Siapakah Tuan?" tanya al-Ma'mun. "Aristoteles," jawab si tua. Kepadanyalah kemudian al-Ma'mun bertanya tentang apa yang disebut baik. Konon, jawaban Aristoteles dalam mimpi itulah kemudian yang menggerakkan al-Ma'mun. Ilmu dan filsafat Islam pun sejak itu tumbuh berkembang pesat, dan di Baghdad berdiri perpustakaan besar yang menampung ilmu dari segala penjuru. Abu Nuwas mungkin seperti al-Ma'mun itu: sebuah keberanian (atau kenekatan?) untuk terbuka -- yang sering tak sama dengan ketertiban, ketaatan, keselarasan. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo