Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Akar Sengkarut Regulasi

Penataan regulasi menjadi salah satu fokus utama pemerintahan Joko Widodo, khususnya pada periode kedua pemerintahannya.

11 September 2019 | 07.30 WIB

Presiden Joko Widodo memberikan keterangan terkait kerusuhan di Manokwari dan Sorong di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin, 19 Agustus 2019. Jokowi meminta masyarakat Papua untuk memaafkan pihak-pihak yang telah membuat mereka tersinggung hingga terjadi aksi demonstrasi yang berakhir rusuh serta meminta masyarakat Papua untuk percaya kepada pemerintah dalam menjaga kehormatan dan kesejahteraan masyarakat di Papua dan Papua Barat. ANTARA/Setpres-Kris
Perbesar
Presiden Joko Widodo memberikan keterangan terkait kerusuhan di Manokwari dan Sorong di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin, 19 Agustus 2019. Jokowi meminta masyarakat Papua untuk memaafkan pihak-pihak yang telah membuat mereka tersinggung hingga terjadi aksi demonstrasi yang berakhir rusuh serta meminta masyarakat Papua untuk percaya kepada pemerintah dalam menjaga kehormatan dan kesejahteraan masyarakat di Papua dan Papua Barat. ANTARA/Setpres-Kris

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Januari Sihotang
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UGM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Penataan regulasi menjadi salah satu fokus utama pemerintahan Joko Widodo, khususnya pada periode kedua pemerintahannya. Jokowi beberapa kali mengimbau pembentukan regulasi tidak hanya mengejar kuantitas, tapi juga kualitas. Menurut dia, obesitas regulasi tidak hanya berpotensi menimbulkan tumpang-tindih serta disharmoni suatu peraturan dengan peraturan di atasnya, tapi juga dengan peraturan yang sama tingkatannya. Kesemrawutan regulasi tentu akan berdampak negatif pada kemauan dan kemudahan berinvestasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mencatat, hingga 2016 saja, setidaknya terdapat lebih-kurang 62 ribu peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik di tingkat pusat maupun daerah. Jumlah ini sangat fantastis. Di tingkat pusat, yang paling banyak adalah peraturan menteri, yakni 11.985 peraturan.

Di tingkat daerah, obesitas regulasi terjadi mulai peraturan daerah provinsi hingga desa. Kendati Menteri Dalam Negeri sudah membatalkan 3.142 perda pada 2016, ternyata inflasi perda tetap tidak terbendung. Pembatalan perda tersebut tak ubahnya seperti pemadam kebakaran, yang muncul hanya ketika terjadi masalah.

Realitas ini menunjukkan perlunya keseriusan dalam penataan regulasi yang bukan sekadar upaya tambal-sulam. Langkah-langkah penataan regulasi harus dilakukan secara sistematis dan melalui perencanaan matang.

Langkah Presiden Jokowi untuk membentuk Pusat Legislasi Nasional patut diapresiasi. Namun wacana ini akan sia-sia jika akar permasalahan regulasi tidak segera diselesaikan.

Langkah pertama dan utama dalam penataan regulasi adalah menata jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Hal ini sudah diatur dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yakni mulai Undang-Undang Dasar, Ketetapan MPR, undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, hingga perda.

Pembentukan perda harus menjadi perhatian utama. Pembentukannya tidak boleh sekadar keinginan daerah, tapi harus disesuaikan dengan kemampuan daerah itu. Saat ini, perda sering kali dijadikan proyek bancakan, padahal daerah bersangkutan belum atau tidak terlalu memerlukan perda tersebut.

Pemerintah pusat perlu mengevaluasi kemampuan daerah dalam membentuk perda. Mengutip Zainal Arifin Mochtar (2018), evaluasi yang dilakukan pemerintah pusat akan menentukan level atau tingkatan kemampuan daerah yang bersangkutan. Level ini kemudian menentukan besar dana alokasi umum dan khusus, termasuk jenis-jenis perda yang dapat dibentuk. Semakin tinggi level daerahnya, semakin terbuka ruang bagi daerah yang bersangkutan untuk membentuk perda.

Masalah lain lahir dari Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengenai peraturan perundang-undangan lain, yang mencakup juga peraturan yang ditetapkan oleh kementerian, lembaga, dan badan negara atau komisi setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah serta dewan perwakilan rakyat daerah, gubernur, wali kota, bupati, dan kepala desa atau yang setingkat.

Jika dikaji menurut teori perundang-undangan, beberapa regulasi yang dibentuk berdasarkan Pasal 8 ini banyak yang tidak layak disebut sebagai peraturan. Peraturan menteri, misalnya, tidak perlu dijadikan peraturan yang mengikat secara umum, tapi cukup sebagai peraturan internal kementerian. Apalagi kedudukan menteri hanya sebagai pembantu presiden yang tidak memiliki kewenangan konstitusional dalam membuat peraturan. Hal-hal strategis yang saat ini diatur dengan peraturan menteri seharusnya diatur saja dalam bentuk peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Selain pembentukannya lebih sederhana, hal ini akan mencegah terjadinya ego sektoral antar-kementerian yang saat ini jamak terjadi.

Peraturan desa juga perlu dikaji ulang eksistensinya. Hal ini berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusianya agar tidak menimbulkan permasalahan baru. Peraturan desa yang serampangan memberi peluang terjadinya benturan antar-peraturan desa dan dengan peraturan di atasnya. Rendahnya kualitas peraturan desa bukan tidak mungkin akan menimbulkan konflik horizontal dan vertikal di masyarakat.

Selanjutnya, penataan regulasi di hilir juga sangat mendesak. Penataan ini mengarah pada pembatalan regulasi-regulasi bermasalah. Menurut konstitusi, pengujian peraturan perundang-undangan diberikan kepada dua lembaga, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. MA menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan MK menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Pemberian kewenangan pengujian kepada dua lembaga yang berbeda ini berpotensi memunculkan pertentangan putusan di antara kedua lembaga. Contoh terbaru dapat dilihat dalam Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018, yang melarang calon anggota Dewan Perwakilan Daerah menjadi pengurus partai politik, tapi MA mengabulkan uji materi tentang larangan pengurus partai politik menjadi calon anggota DPD. Maka, pengujian peraturan perundang-undangan sesungguhnya lebih baik dilakukan oleh satu lembaga saja, bisa MA atau MK.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus