Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pemerintah semestinya jangan menepuk dada melihat keberhasilannya menekan angka kemiskinan dari 10,12 persen pada September 2017 menjadi 9,82 persen pada Maret 2018 serta turunnya rasio Gini (ketimpangan pengeluaran penduduk) dari 0,397 menjadi 0,389. Keberhasilan itu pantas diapresiasi dengan sejumlah catatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Presiden Joko Widodo harus menjadikan sejumlah catatan dari Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai bahan evaluasi. Berdasarkan survei BPS, ada dua persoalan kesenjangan kesejahteraan yang menuntut diselesaikan. Pertama adalah ketimpangan antara wilayah timur dan barat Indonesia. BPS mendapati angka kemiskinan di wilayah Papua dan Maluku mencapai 21,2 persen. Bandingkan dengan tingkat kemiskinan di Pulau Jawa yang hanya 8,94 persen, Sumatera 10,39 persen, dan Kalimantan 6,09 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kedua adalah kesenjangan antara desa dan kota. BPS melaporkan, jumlah penduduk miskin di pedesaan mencapai 15,81 juta orang atau 13,2 persen dari total penduduk. Sedangkan jumlah penduduk miskin di perkotaansebanyak 10,14 juta orang atau 7,02 persen dari total penduduk. Masalah bertambah lantaran rasio Gini di pedesaan malah naik menjadi 0,324, sedangkan di perkotaan turun menjadi 0,401.
Tingginya kesenjangan wilayah timur-barat dan desa-kota harus segera diakhiri. Selain menggiatkan program pembangunan infrastruktur, menambah sarana transportasi, dan mencanangkan bahan bakar minyak satu harga, pemerintah harus mendorong penciptaan lapangan kerja di daerah. Pihak swasta bisa dirangkul untuk mendorong munculnya sumber pertumbuhan ekonomi baru, seperti pariwisata.
Faktor pendorong turunnya angka kemiskinan pada survei Maret 2018, yang diklaim terendah sepanjang sejarah Indonesia, juga perlu dicermati. Menurut BPS, penurunan kemiskinan banyak ditopang oleh melonjaknya nilai bantuan sosial tunai, program beras sejahtera, dan bantuan pangan nontunai. Padahal, idealnya, pengentasan masyarakat miskin disokong oleh pertumbuhan ekonomi yang berpangkal pada peningkatan produktivitas dan nilai tambah.
Becermin pada temuan itu, pemerintah harus bekerja keras menggenjot pertumbuhan ekonomi yang saat ini masih berkutat di angka 5 persen. Jangan sampai pemerintah terkesan mengambil jalan pintas untuk memangkas kemiskinan dengan mengucurkan berbagai bantuan dan subsidi demi meningkatkan elektabilitas menjelang Pemilihan Umum 2019. Kalau cara ini yang ditempuh, penurunan kemiskinan yang dicapai hanyalah semu.
Ihwal kestabilan harga pangan dan distribusinya, pemerintah juga mesti waspada. Tidak boleh terjadi lagi lonjakan harga bahan pangan seperti yang terjadi pada harga telur belum lama ini. Distribusi bahan pokok harus merata di setiap daerah. Pastikan pula program "tol laut" berjalan. Stabilitas nilai tukar rupiah juga wajib dijaga supaya harga barang tidak melonjak.
Upaya pemerintah menjaga daya beli masyarakat dengan mengucurkan subsidi energi dalam jumlah besar juga harus dievaluasi. Tanpa sistem penyaluran yang tepat, subsidi hanya akan salah sasaran.