Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Asasin

Pembunuhan itu terjadi 14 Oktober 1092.

7 Juni 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kira-kira habis tengah hari, perdana menteri yang berkuasa dalam imperium Seljuq di Bagdad, Nizam al-Mulk, baru selesai menyelesaikan urusan pemerintahan. Ingin beristirahat, negarawan berusia 74 tahun itu naik ke dalam tandunya, menuju tempat tetirah. Di jalan, seseorang berpakaian sufi mendekat, hendak menyampaikan sepucuk petisi. Nizam menerimanya. Belum selesai ia membaca dokumen yang disampaikan, sebilah pisau menikam jantungnya. Nizam tewas. Sejarah politik Islam sekali lagi bergerak dengan pertumpahan darah-dan kali ini mengenal para asasin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Si pembunuh seseorang yang disiapkan di Benteng Alamut, yang dikelilingi bukit-bukit ruwet, di Persia Utara. Batu karang tegak lurus setinggi hampir 200 meter menjadi dinding yang melindungi tempat itu. Di sinilah pusat perlawanan kaum Ismaili, tempat para asasin dilatih-mungkin seperti ninja-untuk menyusup ke kalangan musuh dan membunuh pemimpin mereka, seraya siap mati untuk Hasan al-Sabbah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hasan dilahirkan dalam keluarga Syiah dari mazhab Dua Belas Imam, di Qom, di timur laut Iran. Kemudian ia beralih memeluk aliran Ismailiah. Ia pindah ke Kairo, tinggal di sana satu setengah tahun, bekerja untuk dewan dakwah kerajaan, tapi kecewa terhadap keadaan politik di Mesir. Di kerajaan itu peran militer orang Turki ternyata sangat besar. Hasan membenci bangsa ini, yang di Persia, di tanah airnya, berkuasa.

Ada sikap anti-asing pada Hasan. Ketika kembali ke Persia, ia menghadapi kekuasaan Dinasti Seljuq, penganut Sunni yang berasal dari Turki. Penguasa di Bagdad ini memporak-porandakan kaum Syiah. Melawan kekuatan militer yang jauh lebih besar, Hasan mendirikan pertahanan di Benteng Alamut, dengan cara mengirim para asasin.

Di masa itu, Wazir Nizam al-Mulk, orang yang cakap mengatur pemerintahan, juga memimpin penyebaran kebencian. Buku yang ditulisnya, Siyasatnama, menyebut bahwa tujuan kaum Ismaili adalah melenyapkan Islam. Dan ia tak hanya menulis risalah permusuhan. Ia mendirikan madrasah "Nizammiyah" di pelbagai kota. Di Bagdad, ia memberi tempat tinggi kepada Al-Ghazali. Sebelum akhirnya Al-Ghazali mengalami krisis batin dan meninggalkan jabatannya, ulama terkemuka ini rajin menulis risalah anti-Ismailiah-bahkan mengemukakan bahwa minoritas ini tak tergolong ke dalam umat Islam dan patut diperangi.

Menghadapi kekuatan politik dan ideologis yang mengepung itulah Hasan memilih jalan perang rahasia-dan melatih pemuda-pemuda, yang kemudian disebut fidai'in, mempersiapkan mereka yang mau mengabdikan jiwa dan raganya: para asasin.

Kata "asasin" sering dikaitkan dengan hashshashin, atau pencandu hashish, obat bius yang ditakik dari perdu kanabi. Di abad ke-13, Marco Polo, yang dalam petualangannya pernah melewati wilayah Parsi, melanjutkan dugaan itu dalam catatan perjalanannya. Tapi keliru. Tanpa narkoba, para fidai'in dibentuk doktrin yang ketat dan keras. Hasan menuntut loyalitas penuh kepada dirinya, setelah mengkhotbahkan ajarannya sebagai bimbingan moral yang absolut. Pengikutnya terkesima: sang Guru pernah menghukum mati dua anaknya sendiri karena melanggar aturan yang ditentukannya.

Kini banyak orang yang mengenang sejarah kaum asasin ini sejak berkecamuk teror kaum "jihadi"-seakan-akan mereka reinkarnasi para pembunuh dari Bentang Alamut. Memang, seperti para teroris hari ini para fidai'in membunuh tanpa ada niat untuk selamat. Tapi berbeda dengan para pengebom bunuh diri, para asasin mematikan sasaran secara selektif dan dengan persis. Tak ada korban sampingan. Strategi Hasan, berbeda dengan ISIS, bukanlah menguasai wilayah, melainkan mengguncang keutuhan militer musuh dengan melenyapkan pemimpin mereka, satu demi satu, dan dengan itu menebar saling curiga di pihak lawan. James Waterson, dalam The Ismaili Assassins: A History of Medieval Murder, menganggap logika perang Hasan al-Sabbah "modern"-mungkin karena bukan hanya fanatisme yang dibangun, tapi juga kemampuan untuk efisien dan efektif.

Kriteria mana lawan dan mana kawan dalam doktrin Benteng Alamut juga lebih jelas: di pihak sini kaum Ismaili yang terdesak, di pihak sana penguasa Turki-Sunni yang ekspansif. Kejelasan ini tak ada dalam teror ala ISIS. Para "jihadi" abad ke-21 bertolak dari pandangan takfiri: siapa saja yang dianggap kafir-dan mereka yang menentukan-harus dihabisi.

Tapi akhirnya ada yang sama antara perang ala Hasan al-Sabbah dan para teroris hari ini: tak ada prospek kemenangan. Kaum takfiri memang tak punya Benteng Alamut yang tak terjangkau, tapi mereka juga mengisolasi diri. Mereka menganggap diri paling "Islami". Politik kekerasan mereka meniadakan apa yang membuat mereka bisa didukung luas. Mereka tak menampilkan sifat universal sebuah cita-cita. Mereka menyisihkan orang lain, dan pada gilirannya menyisihkan diri sendiri.

Mereka cuma ditandai kata "tidak".

Goenawan Mohamad

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus