Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RANCANGAN Peraturan Pemerintah (RPP) Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove tampak seperti gimik saja. Seolah-olah deforestasi mangrove bisa berhenti dengan pembahasan sebuah rancangan aturan. Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Perusakan hutan bakau terus berjalan, bahkan dilegalkan oleh sejumlah aturan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah menggodok RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove sejak dua tahun lalu, setelah Presiden Joko Widodo berpidato dalam forum One Ocean Summit pada 11 Februari 2022. Selain pembahasannya berlarut-larut, inisiasi rancangan peraturan itu sejatinya terlambat. Seharusnya rancangan dibuat 12 tahun lalu, begitu Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terbit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah memang menjadikan 2022 sebagai tahun promosi mangrove. Selain meracik aturan, Presiden Jokowi melakukan “diplomasi mangrove” di Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada November 2022. Di sela-sela acara, para pemimpin negara G20 menanam mangrove, dipandu oleh Jokowi, di Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Denpasar.
Namun semua upaya itu segera terbaca sebagai sandiwara belaka. Di balik gembar-gembor perlindungan mangrove, pemerintah tak pernah menyelesaikan akar masalahnya. Selama ini, pemerintah sendiri yang mendorong perusakan hutan bakau secara sistematis, bahkan dilegalkan oleh sejumlah undang-undang.
Undang-Undang Cipta Kerja, misalnya, melegalkan tambang panas bumi di wilayah perairan, yang jelas-jelas mengancam ekosistem mangrove. Demikian pula Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021, yang membolehkan pembabatan hutan mangrove demi kepentingan proyek strategis nasional. Terbukti banyak proyek strategis nasional, seperti pembangunan smelter nikel, merusak hutan bakau.
Ekosistem mangrove juga rusak oleh sejumlah proyek pertambangan. Dalam catatan Jaringan Advokasi Tambang yang terbit pada 2019, sebanyak 165 area konsesi tambang (seluas 734 ribu hektare) berada di 55 pulau kecil. Kenapa penambangan bisa berlangsung di pulau kecil yang biasanya menjadi ekosistem bakau? Karena Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara membolehkannya.
Belum lagi proyek di sektor perikanan. Pemerintah berencana mengerek angka produksi udang menjadi 1,52 juta ton pada 2024. Karena itu, pemerintah mempercepat pembangunan proyek shrimp estate seluas 11 ribu hektare di pelbagai daerah. Proyek tambak udang berskala besar itu jelas menjadi ancaman serius bagi hutan mangrove.
Pemerintah pun tak mengerem ambisi mereklamasi pantai di pelbagai daerah. Dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, sebanyak 28 provinsi hendak mereklamasi lahan seluas 3,5 juta hektare. Namun hanya 10 provinsi yang mengalokasikan ruang perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Sisanya tak mengalokasikan ruang perlindungan apa pun.
Walhasil, bertameng aturan, proyek-proyek itu kian mempercepat laju deforestasi hutan mangrove. Laporan Center for International Forestry Research atau CIFOR pada 2015 mengungkapkan, deforestasi hutan mangrove mencapai 52 ribu hektare per tahun, dalam 30 tahun terakhir. Kemungkinan besar angka itu terus bertambah.
Apakah RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove benar-benar akan menjaga hutan bakau? Rasanya tidak. Maka, pertanyaannya, aturan itu dirancang untuk kepentingan siapa?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kacau-balau Melindungi Bakau"