Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Awas Petrus Gaya Baru

Operasi pemberantasan begal yang diadakan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya sepanjang Juli lalu harus segera dievaluasi karena terindikasi melanggar hak asasi manusia.

9 Agustus 2018 | 07.00 WIB

Barang bukti dan senjata tersangka pembegalan dihadirkan saat rilis Ungkap Kasus Pelaku Begal di kantor Polres Jakarta Selatan. Selasa, 17 Juli 2018. Pelaku diciduk di sekitar tempat kejadian perkara. TEMPO/Amston Probel
Perbesar
Barang bukti dan senjata tersangka pembegalan dihadirkan saat rilis Ungkap Kasus Pelaku Begal di kantor Polres Jakarta Selatan. Selasa, 17 Juli 2018. Pelaku diciduk di sekitar tempat kejadian perkara. TEMPO/Amston Probel

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Operasi pemberantasan begal yang diadakan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya sepanjang Juli lalu harus segera dievaluasi karena terindikasi melanggar hak asasi manusia. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Ombudsman Republik Indonesia menemukan sejumlah kejanggalan yang mengarah pada praktik pembunuhan di luar peradilan (extrajudicial killings).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Tujuan awal operasi itu, yakni memulihkan keamanan di Jakarta menjelang penyelenggaraan Asian Games dua pekan lagi, tentu patut didukung. Namun pelaksanaannya sungguh bermasalah. Kesaksian keluarga para tersangka begal yang tewas "didor" polisi mengenai kronologi kejadian bertolak belakang dengan versi kepolisian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama tiga pekan operasi, polisi menangkap lebih dari seribu begal di Ibu Kota. Ketika operasi diumumkan rampung pekan lalu, Polda Metro Jaya mengaku petugasnya sudah menembak 52 begal. Sebanyak 15 orang di antaranya tewas. Belakangan, Komnas HAM, Ombudsman, dan investigasi Koran Tempo menemukan beberapa fakta yang mengganggu soal rangkaian penembakan tersebut.

Pertama, polisi mengklaim mereka terpaksa menembak mati tersangka begal karena melawan dan mencoba merebut pistol petugas. Keterangan para saksi mata menunjukkan hal sebaliknya: tersangka begal ditangkap relatif tanpa kisruh. Bahkan sebagian besar menyerah tanpa perlawanan. Tak ada satu pun saksi yang mendengar suara tembakan ataupun baku hantam.

Kedua, berdasarkan hasil pemeriksaan forensik pada mayat korban, tampak sebagian besar luka tembak korban ada di dada atau punggung. Tembakan peluru tepat di area jantung pasti mematikan. Tak hanya itu, hasil pemeriksaan terhadap mayat korban juga tak menemukan memar atau luka tembak lain di tubuh korban. Ini membuktikan tidak ada perlawanan ketika polisi menembak mati para tersangka.

Temuan awal ini tentu harus ditelusuri lebih lanjut. Itulah sebabnya Komnas HAM dan Ombudsman meminta bantuan dan kerja sama petinggi Polda Metro Jaya untuk mengusut tuntas kasus ini. Sayangnya, polisi tampak enggan berbagi informasi dengan kedua lembaga negara itu. Sikap semacam itu justru menambah kecurigaan bahwa polisi secara sistematis mengulangi teror penembak misterius (petrus) pada era Orde Baru.

Dugaan itu tak mengada-ada jika kita membaca perintah pemimpin Kepolisian RI soal operasi pemberantasan begal ini. Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian berkali-kali menegaskan bahwa setiap kepala kepolisian resor tak boleh ragu menembak begal. Kalau gagal membersihkan Jakarta dari begal, mereka akan dicopot dari kursinya. Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Idham Aziz juga menyatakan bawahannya tak perlu ragu mengambil tindakan tegas.

Sudah seharusnya Kepala Polri dan Kepala Polda Metro Jaya bertanggung jawab atas semua ekses negatif yang terjadi akibat perintah ini. Memberantas kejahatan dengan kejahatan lain tak akan memecahkan masalah. Penembakan begal hanya akan melahirkan lingkaran kekerasan baru dan membuat Jakarta kian berbahaya buat warganya.

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus