Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Badak Jawa Mati Meninggalkan Kerugian Ekologi

Sebanyak 26 badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon terbunuh akibat perburuan. Menimbulkan kerugiaan ekologis yang sangat besar.

 

7 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Matinya 26 ekor badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, menunjukkan keteledoran luar biasa. Temuan Kepolisian Daerah Banten menunjukkan bahwa badak-badak itu terbunuh akibat perburuan satwa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Angka fantastis itu didapat setelah polisi menangkap 13 tersangka perburuan badak tersebut. Mereka merupakan jaringan pemburu cula yang memperdagangkannya secara ilegal. Perburuan ini mengakibatkan badak Jawa, yang status konservasinya kritis (CR) menurut Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), menghadapi ancaman kepunahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Temuan itu menunjukkan kegagalan pemerintah menjaga satwa langka. Ironisnya, hal tersebut terjadi di Taman Nasional, yang seharusnya menjadi tempat aman bagi satwa yang dilindungi.

Buruknya sistem pengamanan dan keamanan di Taman Nasional sangat mencemaskan. Pada periode 2021-2022, Yayasan Auriga Nusantara mendapati puluhan jejak manusia masuk ke Taman Nasional Ujung Kulon. Orang-orang yang membawa senjata api itu terekam dalam kamera jebak. Aktivitas ini disinyalir ada kaitannya dengan menghilangnya belasan badak Jawa dari tangkapan kamera jebak.

Pada 2021, sedikitnya 17 ekor badak bercula satu tidak terdeteksi kamera jebak. Dua badak di antaranya ditemukan mati. Pada 2022, jumlah badak Jawa yang hilang dari pantauan kamera jebak menjadi 33 ekor. Jadi, dari 80 populasi badak Jawa, hanya 47 yang terekam kamera jebak. Namun Taman Nasional Ujung Kulon tidak pernah terbuka menjelaskan kepada publik ke mana puluhan badak itu berada. 

Bahkan, ketika 26 badak Jawa itu diduga terbunuh akibat perburuan, Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon memilih bungkam. Taman Nasional berkilah data yang disampaikan kepolisian hanya berbasis pengakuan para tersangka. Wajar bila muncul kesan Taman Nasional bersikap permisif terhadap kematian berulang badak-badak itu.

Seharusnya Taman Nasional terbuka terhadap apa yang terjadi di sana. Jika ada kelemahan pada sistem keamanan yang mengakibatkan badak-badak itu terbunuh, mereka mesti mengakuinya, bukan malah menutup-nutupinya.

Sudah sepantasnya Taman Nasional bertanggung jawab atas kematian badak-badak tersebut. Semakin tergerusnya populasi badak Jawa juga menunjukkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan gagal mengelola konservasi satwa langka di Indonesia. Maka tidaklah berlebihan bila kita mendesak pembentukan tim investigasi yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pegiat lingkungan, ahli, dan penegak hukum.

Semua jajaran pengelola Taman Nasional layak diperiksa. Jangan sampai ada petugas menjadi pagar makan tanaman. Sebab, sulit menepis kecurigaan bahwa ada persekongkolan antara orang dalam dan para pemburu. 

Pemburu badak bukanlah pencuri ayam yang mudah beraksi tunggal lalu bisa begitu saja menghilang cepat. Keberhasilan mereka berburu badak menunjukkan bahwa mereka tahu betul seluk-beluk lokasi buruannya. Bukan tak mungkin para penjahat ini bisa memantau kamera jebak sebagai pemandu menemukan posisi badak.

Aparat penegak hukum mesti berupaya lebih keras menguak kejahatan ini. Tidak hanya menangkap pelaku di lapangan, tapi juga membekuk jaringan dan bandarnya. Jangan sampai terjadi anggapan bahwa kematian badak semacam ini wajar atau hanya kecelakaan biasa. Apalagi jumlahnya mencapai puluhan.

Kematian puluhan badak Jawa ini menimbulkan kerugian ekologis yang sangat besar. Apalagi di habitat aslinya, jumlah badak Jawa yang tersisa makin sedikit. Dengan sifatnya yang suka menyendiri, bisa dibayangkan: berapa ratus tahun yang kita butuhkan untuk bisa memiliki kembali puluhan badak Jawa ini.

Dewan Perwakilan Rakyat perlu memberi perhatian terhadap kasus ini. Memanggil dan meminta penjelasan Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala Taman Nasional Ujung Kulon adalah amanat undang-undang dalam melindungi satwa langka. Jika peristiwa ini didiamkan, kasus-kasus semacam ini akan terus terulang, tak terungkap, lalu menjadi misteri hingga perlahan-lahan senyap kembali. 

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus