Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Berdisiplin Menjaga Jarak

Ketika wabah corona (Covid-19) merajalela, hanya ada dua pilihan untuk membendungnya: menutup wilayah yang terjangkit wabah (lockdown) atau mengurangi interaksi antar-penduduk negeri (social distancing).

17 Maret 2020 | 07.00 WIB

Antrian penumpang di halte Transjakarta depan Universitas Budi Luhur, Cileduk, 16 Maret 2020. Antrean penumpang terjadi akibat pembatasan operasional bus untuk meminimalkan dampak penularan COVID-19. Instagram/@tmcpoldametro
Perbesar
Antrian penumpang di halte Transjakarta depan Universitas Budi Luhur, Cileduk, 16 Maret 2020. Antrean penumpang terjadi akibat pembatasan operasional bus untuk meminimalkan dampak penularan COVID-19. Instagram/@tmcpoldametro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Ketika wabah corona (Covid-19) merajalela, hanya ada dua pilihan untuk membendungnya: menutup wilayah yang terjangkit wabah (lockdown) atau mengurangi interaksi antar-penduduk negeri (social distancing). Indonesia perlu belajar cepat dari pengalaman negara lain yang telah menerapkan kedua strategi perang melawan Covid-19 itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Negara yang menerapkan penutupan wilayah (lockdown), antara lain, adalah Cina. Pemerintah Cina pertama kali menutup Kota Wuhan ketika wabah corona menggila di ibu kota Provinsi Hubei yang berpenduduk sekitar 11 juta jiwa itu. Setelah itu, Cina menutup 48 kota lainnya dari pintu laut, darat, dan udara. Transportasi publik berhenti total untuk membatasi pergerakan manusia. Semua toko dan pabrik pun tutup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cina sejauh ini mencatat 80.880 orang terinfeksi corona dan 3.213 orang di antaranya meninggal. Perekonomian negara raksasa dunia itu hampir terhenti. Toh, Cina berhasil menurunkan jumlah korban baru corona ketika di banyak negara lain kasusnya terus meningkat. Karena itu, resep lockdown ala Tiongkok itu kini ditiru negara Eropa, seperti Italia, Denmark, dan Irlandia.

Alternatif lain melawan corona adalah mengurangi jumlah aktivitas di luar rumah serta interaksi sesama penduduk negeri. Yang terbilang sukses menerapkan jurus "jaga jarak sosial" itu adalah Korea Selatan, meski Negeri Ginseng ini mencatat 8.236 kasus positif corona dan 75 kematian.

Kuncinya, sembari menerapkan strategi social distancing, Korea Selatan juga melakukan pemeriksaan massal secara gratis terhadap warganya. Pemerintah setempat memobilisasi seluruh tenaga dan fasilitas kesehatan, sehingga bisa memproses sekitar 15 ribu hasil tes spesimen setiap hari. Masyarakat juga memiliki akses untuk mengetahui riwayat perjalanan pasien terinfeksi. Perang total itu akhirnya mengurangi jumlah kasus baru corona dari 600-800 kasus per hari pada akhir Februari lalu menjadi 100-200 kasus per hari sejak awal Maret lalu.

Pemerintah Indonesia tampaknya cenderung memilih opsi social distancing, bukan lockdown. Hal itu terbaca dari pidato Presiden Joko Widodo yang mengimbau masyarakat untuk belajar, bekerja, dan beribadah dari rumah guna meminimalkan penularan.

Masalahnya, pemerintah Indonesia belum menunjukkan langkah drastis seperti Korea Selatan. Di sini belum ada pemeriksaan massal secara gratis. Bahkan, untuk pemeriksaan berbayar pun orang harus antre berjam-jam. Ketika kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri menguat, rumah sakit rujukan umumnya masih menghadapi kendala keterbatasan tenaga dan fasilitas.

Penerapan social distancing di Indonesia juga terbentur oleh minimnya disiplin sebagian besar penduduk. Ketika pemerintah menyarankan agar orang mengurangi interaksi, di angkutan umum dan pusat keramaian, seperti pasar, orang masih saja berjubel. Padahal, tanpa kedisiplinan bersama, strategi menjaga jarak dalam memerangi corona kemungkinan besar akan sia-sia.

Problem lain yang perlu segera diatasi adalah buruknya koordinasi pemerintah pusat dengan daerah. Ketika Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengurangi jumlah dan frekuensi perjalanan angkutan umum, Presiden Jokowi malah menyindir kebijakan yang menimbulkan penumpukan calon penumpang itu. Kebijakan Anies boleh jadi kurang matang. Tapi sindiran terbuka Presiden hanya menunjukkan bahwa kedua pemimpin itu tak bisa berkoordinasi atau, jangan-jangan, malah berkompetisi.

 
Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus