Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah harus secepatnya membatalkan klaim kepemilikan pulau-pulau kecil di negeri ini oleh individu ataupun perusahaan. Tak hanya melanggar hukum, penguasaan tunggal seperti yang dilakukan PT Bumi Pari Asri atas Pulau Parisalah satu pulau di Kepulauan Seribu, Jakartajuga telah memicu konflik hingga jatuh korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akibat mempertahankan haknya, warga Pulau Pari, Edi Priadi, kini mendekam di bui. Warga lain, Sulaiman, masih diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan tuduhan menyerobot tanah perusahaan. Mereka adalah korban klaim kepemilikan tunggal PT Bumi Pari Asri atas tanah yang selama ini, turun-temurun, menjadi rumah mereka. Hakim harus mengabulkan permohonan banding Edi dan menolak dakwaan jaksa dalam perkara Sulaiman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara bersamaan, pekerjaan rumah besar membenahi kepemilikan tanah di pulau-pulau kecil harus segera digarap. Di Ibu Kota, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tak boleh membiarkan pelanggaran hukum di Pulau Seribu terus terjadi. Apalagi sejarah penguasaan tanah pulau itu oleh PT Bumi Pari Asri penuh keganjilan. Penertiban bisa dimulai dengan alasan sederhana: tak ada pulau milik pribadi di negeri ini.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang diturunkan dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir, sudah tegas mengatur bahwa penguasaan lahan oleh swasta hanya diperbolehkan maksimal 70 persen dari luas pulau. Karena itu, klaim PT Bumi Pari Asri yang mencakup 90 persen wilayah Pulau Pari seluas 41,32 hektare jelas ilegal.
Tak hanya itu. Penguasaan hampir seluruh tanah di Pulau Pari oleh perusahaan swasta jelas melanggar Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta sampai tahun 2030. Peraturan Agraria menegaskan bahwa penguasaan tanah tak boleh menghasilkan monopoli kepemilikan hak dan peralihan fungsi lahan. Sedangkan Rencana Tata Ruang DKI menetapkan sebagian Pulau Pari sebagai kawasan permukiman, bukan usaha jasa pariwisata.
Proses sertifikasi tanah PT Bumi Pari Asri yang ditengarai mengandung maladministrasi juga harus diusut tuntas. Menurut Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jakarta Raya, penerbitan 62 sertifikat hak milik dan 14 sertifikat hak guna bangunan oleh Kantor Pertanahan Jakarta Utara itu tidak mengikuti prosedur yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Selain sertifikasinya tak didahului pengukuran yang transparan, warga tak diberi kesempatan mengajukan keberatan.
Sulit untuk tidak mencurigai ada motif terselubung di balik kesalahan administrasi tersebut. Pasalnya, ada pihak swasta yang jelas-jelas diuntungkan akibat kelalaian itu. Pihak kepolisian harus turun tangan memeriksa semua pejabat Kantor Badan Pertanahan Nasional yang mungkin terlibat dalam penerbitan sertifikat tak wajar itu.
Penting diingat bahwa Pulau Pari hanya satu dari sederet kisah suram penguasaan pulau-pulau kecil oleh perusahaan dan perseorangan. Wahana Lingkungan Hidup mencatat ada sedikitnya sepuluh pulau kecil di Indonesia yang sudah dikuasai sepenuhnya oleh swasta.
Dampak buruknya sudah terasa: kelestarian alamnya dirusak demi kepentingan bisnis dan akses warga memasuki pulau-pulau itu dibatasi. Sudah saatnya hukum ditegakkan dan warga kembali memperoleh haknya. Pemerintah harus bertindak sebelum semuanya terlambat.