Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nova Riyanti Yusuf
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Jiwa DKI Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wabah Covid-19 di Indonesia kini memasuki status tanggap darurat bencana non-alam. Maka, tepat sekali bahwa komando akhirnya dipegang oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai Ketua Satuan Tugas Pelaksana Percepatan Penanganan Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di berbagai saluran media sosial, para selebritas dunia, seperti Lenny Kravitz dan Reese Witherspoon, menyerukan agar kita menghadapi ini bersama-sama. Namun, faktanya, kita sendirilah yang menghadapinya. Setidaknya bersama keluarga, kita sedang berusaha mencegah terjadinya infeksi virus. Namun masih tampak perilaku manusia Indonesia yang egosentris sehingga sulit sekali mengeksekusi disiplin dengan social distancing measure. Padahal ini adalah langkah-langkah pencegahan dini untuk meratakan kurva jumlah kasus sehingga tidak membanjiri sistem pelayanan kesehatan.
Masyarakat kebingungan akibat perubahan mendadak status wabah Covid-19. Awalnya masyarakat diarahkan oleh menteri kesehatan untuk berdoa saja dan lebih dari sebulan kemudian berubah menjadi sebuah kondisi darurat yang membutuhkan pendekatan ekstrem seperti isolasi diri.
Saya heran saat menghubungi keluarga di Singapura yang memberikan kesan tenang tapi grup-grup WhatsApp di Indonesia diwarnai oleh kepanikan dan kecemasan. Humor, sebagai bentuk mekanisme pertahanan diri manusia, muncul dalam skala rendah, mengingat warganet Indonesia biasanya sangat humoris dalam merespons banyak isu.
Sugesti yang sempat mampir sejenak bahwa Indonesia kebal corona memperkuat kecemasan ketika masyarakat menatap nanar lonjakan angka pasien yang terdeteksi positif Covid-19 disertai dengan fatality rate akibat Covid-19 yang mencapai 4,3 persen atau tiga besar setelah Italia dan Iran. Keyakinan bahwa orang Indonesia sakti dan kebal corona ternyata delusi. Masyarakat saat ini terhantui oleh isolasi diri.
Apakah praktik social distancing atau menjaga jarak sosial dapat dilakukan oleh masyarakat dengan disiplin dan tetap sehat jiwa? Setiap manusia mempunyai mekanisme coping (tindakan penanggulangan) yang berbeda. Berdasarkan fungsi, jenis-jenis strategi coping bisa berupa coping yang berpusat pada masalah dan yang berpusat pada emosi. Mekanisme coping yang berpusat pada masalah di antaranya berupa perencanaan penyelesaian masalah dan pencarian informasi. Adapun yang berpusat pada emosi dapat menyangkal situasi, menganggap bahwa semua peristiwa merupakan takdir, dan lain-lain.
Social distancing bukan penjara, juga bukan momentum liburan. Individu tetap harus berfungsi dalam ruang kontak antar-manusia yang terbatas. Hal ini tentunya tidak mudah dan dibutuhkan proses adaptasi.
Yang dikhawatirkan adalah apabila individu jatuh ke dalam kondisi behavioral disengagement atau mental disengagement. Kondisi pertama tecermin saat individu kurang berusaha dalam menghadapi stresor, bahkan menyerah atau menghentikan usaha untuk mencapai tujuan karena terganggu oleh stresor. Ini merupakan wujud ketidakberdayaan. Kondisi kedua tampak dari individu yang hanya melamun atau berkhayal, tidur, dan terpaku menonton televisi untuk melarikan diri dari masalah.
Instruksi kepala daerah merupakan hasil dari pemikiran dan analisis situasi, tapi manusia bukan robot yang dapat dengan mudah menerima arahan tanpa proses pembiasaan. Manusia adalah makhluk sosial dan individual yang mempunyai rentang emosi, pemikiran, dan perilaku. Keinginan untuk bersosialisasi tentu akan terasa mendesak. Untuk menggantikan rasa sukacita dalam bersosialisasi dapat diisi dengan pemikiran positif bahwa dengan membatasi gerak manusia, ada juga hal positif yang dihasilkan, termasuk berkurangnya jejak karbon sehingga alam mengalami pemulihan. Alam yang sehat tentu akan berdampak positif juga pada kesehatan manusia.
Proses adaptasi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Menghadapi tantangan ini, dokter jiwa, bergandengan tangan dengan psikolog, memegang peranan penting dalam mendukung kesejahteraan mental banyak pihak, yaitu pasien yang terinfeksi Covid-19 dan keluarga, tenaga medis dan kesehatan, serta masyarakat luas.
Dalam pelayanan kesehatan, pasti psikiater berkolaborasi dengan tenaga medis dan tenaga kesehatan untuk mempermudah proses karantina pasien sehingga pasien merasa terkuatkan dan tidak jatuh ke dalam kondisi traumatis.
Psikiater dan psikolog harus berperan aktif di tengah masyarakat yang sedang berusaha keras mempertahankan diri dan membutuhkan validasi optimisme. Sebab, strategi-strategi dalam menghadapi pandemi dapat menyebabkan timbulnya berbagai efek psikologis dan perilaku yang tidak nyaman. Respons umum yang dapat terjadi itu misalnya insomnia, kecemasan, takut akan sakit, keinginan berlebih untuk makan, pesimisme, dan merokok. Anak-anak dan remaja dapat menolak isolasi sosial dengan perilaku agresif yang dapat diartikan sebagai acting out.
Perlu diingat, saat masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha melindungi diri, tidak demikian halnya dengan pelayan kesehatan. Mereka harus menangani pasien dengan penyakit menular yang tentu sangat menimbulkan ketegangan dan mengguncang kesejahteraan mental. Dukungan moril yang berlandaskan empati bagi mereka sangatlah penting. Kita harus sisihkan sedikit saja perhatian kita kepada mereka yang berjuang di garda terdepan melawan wabah Covid-19.