Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Negara ini sebenarnya sangat berpengalaman menyelenggarakan pemilihan umum. Sejak 1955, hampir sekali setiap lima tahun pemilu digelar. Di era pemilihan langsung, setiap tahun lebih dari seratus kali pemilihan gubernur, bupati, atau wali kota diadakan. Tapi selalu saja muncul masalah kronis yang seakan tak kunjung terobati: kisruh daftar pemilih.
Ricuh daftar pemilih juga mencuat menjelang Pemilu 9 April ini. Daftar pemilih tetap untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta Dewan Perwakilan Daerah dipakai tanpa sempat dicek ulang oleh Komisi Pemilihan Umum maupun Komisi Pemilihan Umum Daerah.
Tentu ada banyak kelemahan dalam daftar itu. Akurasi data merupakan satu contohnya. Paling tidak ada tiga penyebab ketakakuratan data: perhitungan usia, kematian, dan mobilitas penduduk. Para petugas acap kali alpa memasukkan mereka yang pada 9 April berumur 17 tahun—usia minimal memiliki hak suara. Sebaliknya, orangorang yang sudah wafat tak jarang masih tercantum dalam daftar. Ini bisa akibat kelalaian atau karena mereka meninggal setelah daftar pemilih ditetapkan. Mobilitas penduduk juga bisa jadi penyebab. Sistem administrasi kependudukan Indonesia yang masih manual memungkinkan orang yang berpindah lokasi tempat tinggal terdaftar di dua tempat atau malah tidak terdaftar sama sekali.
Kelemahan sistem manual ini ternyata tak bisa dikurangi walaupun proses pengumpulan data pemilih dilakukan secara berjenjang. Pada April tahun lalu, Komisi Pemilihan Umum menerima data dalam ribuan cakram digital dari Departemen Dalam Negeri. Komisi kemudian mengirimkan data itu ke Panitia Pemungutan Suara di seluruh negeri.
Panitia—umumnya tokohtokoh di tingkat rukun tetangga menambah atau mengurangi data itu sesuai dengan keadaan terakhir warganya, lalu mengirimkan kembali ke Komisi. Muncullah daftar pemilih sementara. Setelah mendapat masukan dari masyarakat, Komisi Pemilihan Umum menetapkan daftar sementara tadi menjadi daftar pemilih tetap.
Proses berbiaya hampir setengah triliun rupiah itu ternyata tak menghasilkan data yang rapi. Kinerja Komisi Pemilihan Umum dipersoalkan karena di dalam daftar diduga terdapat pemilih ganda. Hal ini muncul dalam kasus Sampang dan Bangkalan dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur pada Januari lalu. Diduga terjadi ”kloning” nama pemilih dalam jumlah yang signifikan. Menurut tim Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono—kandidat yang kalah dalam pemilihan itu—lebih dari seratus orang memiliki nama dan nomor induk kependudukan sama di satu kecamatan. Hal yang sama kemudian ditemukan dalam daftar pemilih di pelbagai daerah.
Yang mengkhawatirkan, daftar pemilih tetap tak bisa lagi diperbaiki. Kesempatan satu kali untuk memperbaikinya, yang dimungkinkan oleh Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2009, tidak digunakan dengan optimal sampai batas 31 Maret terlampaui. Tak ada alasan resmi yang dikemukakan, tapi dari lapangan diketahui bahwa kelambanan KPU dan KPU Daerah menjadi penyebab utamanya.
Apa boleh buat, walaupun dengan data yang lemah, pemilu tak bisa ditunda mengingat biaya besar yang sudah dikucurkan. Kesempatan terakhir menambal kelemahan data sekarang ada di tempattempat pemungutan suara. Kejadian di Bangkalan, ketika sejumlah anak di bawah 17 tahun bisa memberikan suara dalam pemilihan ulang Gubernur Jawa Timur, tak boleh terulang. Panitia, saksi, juga pemantau perlu memastikan: hanya mereka yang memiliki hak suara yang bisa masuk bilik suara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo