Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH bisa diduga: pidato Presiden Joko Widodo tentang perlunya revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hanya manis di bibir. Kenyataannya, rencana perubahan aturan yang telah memenjarakan banyak orang itu tak dimasukkan ke Program Legislasi Nasional atau Prolegnas 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jokowi dalam pidato pada 15 Februari 2021 menyatakan akan bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat merevisi Undang-Undang ITE “kalau tidak bisa memberikan rasa keadilan”. Pernyataan itu semestinya dilanjutkan dengan memasukkannya ke Prolegnas. Jelas, dua pasal dalam aturan itu—tentang pencemaran nama dan penghinaan—selama ini telah dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menekan suara kritis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prolegnas merupakan mekanisme normatif legislasi yang diatur Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di situ disebutkan Prolegnas merupakan skala prioritas program pembentukan undang-undang untuk mewujudkan sistem hukum nasional. Kenyataannya, pemerintah dan Dewan menjalankan proses ini secara pragmatis: menjejalkan begitu saja berbagai rancangan sembari menyingkirkan hal-hal krusial semacam revisi Undang-Undang ITE itu.
Dewan dan pemerintah menyepakati 33 rancangan dalam Prolegnas 2021, di antaranya rancangan undang-undang perlindungan tokoh dan simbol agama. Ada pula rancangan undang-undang ibu kota negara. Dua topik itu sekaligus menggambarkan karakter politik pemerintah sekarang, yakni memberi akomodasi kepada aspirasi agama yang tak substansial untuk memberi jalan bagi legalitas proyek ambisius Jokowi.
Dewan dan pemerintah tampaknya tidak terlalu peduli dengan hak-hak mendasar dan demokrasi. Undang-Undang ITE telah menjelma menjadi senjata pamungkas di era digital. Aparat penegak hukum menggunakannya untuk membungkam kritik kepada pemerintah. Revisi diperlukan untuk menghentikan berbagai tindakan kriminalisasi. Sebab, kebijakan hukum restoratif yang dikeluarkan Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo tak menjamin berakhirnya penggunaan pasal karet Undang-Undang ITE.
Pendekatan pragmatis pun terlihat dalam keputusan untuk mengeluarkan pembahasan revisi Undang-Undang Pemilihan Umum dalam Prolegnas 2021. Pada awalnya revisi dirancang antara lain buat “menormalkan” pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang semula telah disepakati dijalankan serentak mulai 2024—bersamaan dengan pemilihan presiden dan anggota Dewan.
Menimbang berbagai kelemahan pemilihan 2019—termasuk beratnya beban petugas pemungutan suara—muncul aspirasi untuk kembali memisahkan tiga hajatan politik besar itu. Hampir semua fraksi di Dewan setuju dengan aspirasi itu hingga Presiden Jokowi melobi para ketua umum partai pendukungnya. Hasilnya, semua fraksi berubah haluan. Sulit menyingkirkan penilaian bahwa keputusan ini diambil berdasarkan kalkulasi politik, bukan pendekatan normatif legislasi.
Keputusan itu sangat kontras dengan persekongkolan mengegolkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2019 dan Undang-Undang Cipta Kerja tahun lalu. Dua undang-undang itu dibahas dan disahkan tanpa melalui Prolegnas. Tak mengagetkan karena dua peraturan itu memang menopang misi pemerintah untuk “memuluskan pembangunan”.
Pemerintah didukung Senayan menggunakan hukum untuk meneguhkan kekuasaan. Akibatnya, legislasi sering kali tidak mengedepankan pendekatan demokrasi dan hak asasi manusia. Kepentingan dagang, investasi, dan modal pun menjadi warna kental dalam penyusunan berbagai undang-undang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo