Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POLEMIK berkepanjangan seputar peralihan pemegang saham pengendali PT Bank KB Bukopin Tbk bermula dari lemahnya Otoritas Jasa Keuangan menegakkan aturan. Kisruh keuangan Bukopin yang kini berujung pada gugatan di pengadilan dan penyidikan pidana perbankan semestinya tak terjadi jika OJK sejak awal tegas menjalankan tugasnya sebagai pengawas bank.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bank Bukopin kembali menjadi pembicaraan publik dua pekan terakhir. Kepolisian menetapkan mantan Direktur Utama PT Bosowa Corporindo, Sadikin Aksa, sebagai tersangka lantaran tak menjalankan perintah Otoritas Jasa Keuangan dalam proses penyehatan Bukopin. Kasus ini menjadi episode baru dari drama tarik-ulur peralihan kendali Bukopin dari Bosowa ke KB Kookmin Bank yang berlangsung sepanjang tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kuat dugaan kasus baru ini merupakan pukulan balik OJK kepada Bosowa yang terus melawan pergantian pemegang saham pengendali Bukopin. Padahal, sebelumnya, Bosowa sedang di atas angin. Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta mengabulkan gugatan mereka terhadap keputusan OJK yang mencabut kelayakan Bosowa sebagai pemegang saham Bukopin. Akibat keputusan OJK itu, Bosowa tak lagi berdaya dalam rapat pemegang saham, Agustus 2020. Rapat itu akhirnya menyetujui penambahan modal KB Koomin Bank sekaligus menempatkan bank asal Korea Selatan tersebut sebagai pengendali baru Bukopin.
OJK telah mengajukan permohonan banding atas putusan PTUN Jakarta. Tapi, jika upaya hukum lanjutan di kemudian hari tetap memenangkan Bosowa, peralihan pemegang saham pengendali Bukopin kepada Kookmin Bank bisa kembali bermasalah. Padahal masuknya Kookmin kini sudah mulai mengubah wajah Bukopin, yang sejak 2018 terbelit masalah permodalan dan likuiditas.
Sejatinya kisruh seputar urusan perebutan kendali Bank Bukopin itu hanya riak-riak di permukaan. Ada masalah yang jauh lebih mendasar yang melatarbelakangi seluruh drama di Bukopin. Untuk mengurainya, kita harus mundur ke episode awal polemik ini. Karut-marut keuangan Bukopin pertama kali mencuat dalam laporan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap kegiatan pengawasan OJK pada 2017-2019. Temuan BPK menunjukkan pengawas bank lamban menangani masalah Bukopin ketika berbagai data menunjukkan keuangan bank ini sudah berisiko kolaps sejak akhir 2017. OJK juga dianggap tak tegas menghadapi pemegang saham yang terus ingkar terhadap perintah penambahan modal Bukopin.
Ketika itu, di tubuh Bukopin, BPK menemukan adanya kredit macet senilai Rp 1,17 triliun akibat tak jelasnya penyelesaian utang kepada PT Amanah Finance, perusahaan pembiayaan bagian dari Kalla Group--afiliasi Bosowa. BPK menyebutkan masalah itu terjadi lantaran pengawasan OJK terhadap bank dan lembaga keuangan lain tak terintegrasi sehingga gagal mendeteksi risiko pada konglomerasi keuangan. Yang lebih mengkhawatirkan, laporan audit yang sama juga mencatat OJK luput menindak berbagai pelanggaran pemberian kredit kepada kroni pemegang saham di bank lain, bukan hanya Bukopin.
Berbagai temuan itu pantas membuat kita gusar. Indonesia punya pengalaman pahit ketika krisis 1998 membuka kedok bank yang bertahun-tahun hanya menjadi mesin vakum raksasa, menyedot dana masyarakat untuk membiayai bisnis pemilik dan koleganya.
Karena itulah, ke depan, Bukopin bukan satu-satunya pihak yang harus dibenahi, tapi juga OJK. Buruknya tata kelola bank dan lemahnya penindakan OJK harus segera diperbaiki. Perekonomian nasional dalam bahaya besar jika industri keuangan dikelola dan ditangani oleh macan ompong. Krisis perbankan pada 1998 tak boleh terulang kembali.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo